Advertisement
Advertisement
Analisis | Mengukur Seberapa Panjang Risiko Tumpukan Utang Luar Negeri Halaman 2 - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Mengukur Seberapa Panjang Risiko Tumpukan Utang Luar Negeri

Foto: Joshua Siringo/Katadata
Utang luar negeri yang terus meningkat bisa berakibat stabilitas moneter Indonesia lebih rentan terhadap gejolak eksternal. Selain itu, menambah beban bagi generasi mendatang karena strukturnya lebih banyak utang jangka panjang.
Dimas Jarot Bayu
22 Oktober 2020, 09.00
Button AI Summarize

BI sejauh ini telah membeli SBN senilai Rp 291,3 triliun. Rinciannya di pasar perdana Rp 61,6 triliun dan di pasar sekunder untuk pendanaan public goods Rp 229,68 triliun. Faisal menilainya masih kurang, karena semestinya bank sentral bisa membeli lebih banyak.    

Namun, Faisal menyoroti belum efektifnya penggunaan anggaran yang bersumber dari ULN untuk menangangi pandemi Covid-19. Realisasi penyerapan anggaran penanganan Covid-19 dan PEN hingga 14 Oktober 2020 tercatat baru mencapai Rp 344,11 triliun atau 49,5% dari pagu Rp 695,2 triliun. Padahal, tujuan pemerintah menambah ULN untuk keperluan tersebut yang tergambar dari proporsi terbesarnya di sektor kesehatan dan kegiatan sosial, yakni US$ 47,39 miliar.   

Hal lain yang perlu diwaspadai dari penambahan ULN adalah belum baiknya kinerja penerimaan di sektor valas. Terlihat dari rasio pembayaran utang (Debt Service Ratio/DSR) Tier-1 yang meningkat pada kuartal II 2020 menjadi 29,5% (qtoq). Melewati batas aman IMF sebesar 25%. Tercermin pula dari nilai ekspor Indonesia yang hanya mencapai US$ 14 miliar pada September 2020 atau turun 0,51% yoy. Hal ini terjadi lantaran pandemi Covid-19 belum berakhir.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira mengatakan, rendahnya kinerja penerimaan di sektor valas semakin memperbesar beban ULN Indonesia. Lebih lanjut, bisa terjadi financial distress pada sektor swasta yang berakibat gelombang pailit lantaran nilai tukar rupiah tertekan.  

“Di saat yang bersamaan, tidak banyak swasta yang melakukan hedging. Situasi ini akan memicu PHK sebagai konsekuensi pailitnya perusahaan,” kata Bhima.

Indonesia juga berpotensi mewariskan beban yang cukup besar bagi generasi mendatang jika tren kenaikan ULN berlanjut. Mengingat pada Agustus 2020, utang jangka panjang dengan average time maturity (ATM) mencapai 8,6 tahun mendominasi struktur ULN.

BI mencatat posisi ULN jangka panjang Indonesia mencapai US$ 346,36 miliar atau 84% dari total sebesar US$ 413,39 miliar. Sebaliknya, utang jangka pendek sebesar US$ 67,03 miliar atau 16%. 

Terkait persoalan ini, Staf Khusus Menteri Keuangan Masyita Crystallin memastikan utang pemerintah dikelola dengan sangat hati-hati dan akuntabel. Dengan demikian, risiko dari peningkatan utang luar negeri masih terjaga.

Masyita menilai negara yang sedang membangun memiliki nilai investasi lebih tinggi dari tingkat simpanannya atau dikenal sebagai saving-investment deficit. Selisih tersebut ditutup dengan utang luar negeri. Sepanjang return terhadap investasi lebih tinggi dari biaya bunga, ia memastikan sebuah negara akan mampu membayar utangnya.

Pemerintah melakukan beberapa strategi aktif memitigasi risiko fiskal, terutama pada portofolio utang, antara lain meliputi buyback, debt switch, dan konversi pinjaman. “Selain itu, secara umum tetap dilakukan manajemen yang baik terhadap waktu jatuh tempo dan pendalaman pasar keuangan,” kata Masyita dalam keterangan tertulisnya, Kamis (15/10).

Halaman:

Editor: Muhammad Ahsan Ridhoi