Advertisement
Advertisement
Analisis | Mampukah Food Estate Mengatasi Krisis Pangan di Indonesia? Halaman 2 - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Mampukah Food Estate Mengatasi Krisis Pangan di Indonesia?

Foto: Joshua Siringo/Katadata
Penurunan produksi pangan bukan hanya terkait berkurangnya lahan tanam untuk pelbagai komoditas. Ada juga faktor iklim dan jumlah petani. Lokasi food estate pun memiliki riwayat gagal menjadi lahan pangan pada masa Orde Baru.
Andrea Lidwina
27 Oktober 2020, 08.30
Button AI Summarize
Lumbung pangan
Lumbung pangan (Katadata)

Lembaga penelitian SMERU dalam laporan Tinjauan Strategis Ketahanan Pangan dan Gizi di Indonesia: Informasi Terkini 2019–2020, menilai rendahnya produktivitas lahan juga berdampak pada penurunan produksi pangan. Perubahan iklim dan jumlah petani adalah salah dua faktor yang memengaruhi tingkat produktivitas lahan.

Proses produksi pangan sangat bergantung pada kondisi cuaca. Sulitnya memprediksi curah hujan, misalnya, membuat musim tanam terlambat dan berdampak pada musim panen. Gagal panen juga tak jarang terjadi akibat kekeringan atau banjir. Selain itu, kenaikan suhu dan kelembapan bisa memunculkan hama dan penyakit yang merusak tanaman.

Perubahan iklim pun tak terhindarkan di lokasi lumbung pangan, apalagi dengan kebakaran hutan dan lahan yang terjadi setiap tahun. Terbukti Kalimantan Tengah memiliki angka produktivitas padi ketiga paling rendah pada 2019 secara nasional.

MENANAM SAYURAN PADA MUSIM KEMARAU
MENANAM SAYURAN PADA MUSIM KEMARAU (ANTARA FOTO/Abriawan Abhe/pras.)

Jumlah petani tercatat makin berkurang di beberapa subsektor. Padi dan palawija mengalami penurunan masing-masing sekitar satu juta rumah tangga usaha pertanian (RTUP) pada 2018 dibandingkan lima tahun sebelumnya. Hal serupa terjadi pada petani hortikultura, perkebunan, perikanan, dan kehutanan.

Meski begitu, menurunnya sumber daya manusia (SDM) di bidang pertanian bukan karena minat generasi muda pada sektor tersebut. “Kondisi minimnya akses terhadap lahan pertanian menimbulkan halangan besar bagi pemuda untuk menjadi petani,” tulis SMERU.

Sayangnya, proyek food estate pun belum sepenuhnya menempatkan petani pada akses tersebut. Direktur Yayasan Petak Danum Muliadi mengatakan masih ada kebingungan posisi antara petani dan korporasi dalam proyek ini, juga pengelolaan lahan existing, seperti dikutip dari Mongabay.

Terlepas dari produksi dan ketersediaan, krisis pangan juga berkaitan dengan akses dan pemanfaatan bahan pangan di masyarakat. Bank Dunia memprediksi jumlah penduduk miskin Indonesia bisa bertambah sebanyak 5,5-8 juta orang imbas pandemi Covid-19. Mereka pun rentan kekurangan makanan karena tidak mampu membelinya.

SMERU menilai skema perlindungan sosial, seperti Program Sembako dan Program Keluarga Harapan (PKH), sudah tepat untuk memastikan masyarakat miskin dan rentan memiliki akses memadai terhadap bahan pangan. Program-program ini ke depannya harus lebih tepat sasaran dan lebih memerhatikan kebutuhan gizi penerimanya.

Dengan begitu, lumbung pangan di Kalimantan Tengah belum akan menyelesaikan krisis pangan di Indonesia. Lahan yang bermasalah punya potensi tidak produktif dalam menghasilkan berbagai bahan pangan. Masih banyak pula masalah yang perlu diatasi terkait produktivitas dan penyalurannya ke masyarakat.

Halaman:

Editor: Muhammad Ahsan Ridhoi