Advertisement
Advertisement
Analisis | Alarm Penurunan Kualitas Demokrasi Periode Kedua Jokowi Halaman 2 - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Alarm Penurunan Kualitas Demokrasi Periode Kedua Jokowi

Foto: Joshua Siringo/Katadata
Persepsi publik menunjukkan setahun pemerintahan Jokowi-Ma’ruf lebih tak demokratis. KontraS dan SAFEnet pun mencatat deretan kasus pembungkaman terhadap sipil yang kritis. Namun, Jubir Presiden, Fadjroel Rachman masih menganggap Jokowi tegak lurus menjalankan demokrasi.
Dimas Jarot Bayu
28 Oktober 2020, 09.01
Button AI Summarize

Kapolri Jenderal (Pol) Idham Azis menerbitkan surat tersebut pada 2 Oktober 2020. Isinya berupa sejumlah perintah untuk mengantisipasi aksi unjuk rasa dan mogok kerja buruh yang menolak Undang-Undang Cipta Kerja. Salah duanya patrol siber di media sosial dan manajemen media untuk membangun opini publik menolak demonstrasi di tengah pandemi Covid-19.  

“Kalau di periode pertama, kami melihat enggak ada legitimasi melalui kebijakan-kebijakan atau surat telegram yang sifatnya teknis. Kalau yang ini kelihatannya memang sudah diniatkan untuk membungkam kelompok atau individu yang kritis,” kata Rivanlee.

Jika pelanggaran terhadap kebebasan sipil terus dilakukan, Rivanlee menilai kualitas demokrasi akan semakin menurun di masa mendatang.

Selain KontraS, Southeast Asia Freedom of Expression Network atau SAFEnet mencatat peningkatan masalah kebebasan berekspresi di media sosial sepanjang 2020. Tercatat 59 kasus kriminalisasi akibat berekspresi di media sosial dalam rentang Januari-Oktober 2020. Jauh lebih banyak dari total sepanjang tahun lalu yang 24 kasus.

Warga biasa menjadi pihak yang paling banyak menjadi terlapor selama 2020, yakni 44 orang. Disusul aktivis sebanyak sembilan orang. Lalu, mahasiswa dan profesional dengan masing-masing dua orang. Terakhir, jurnalis dan pejabat publik dengan masing-masing satu orang.

Kepala Divisi Kebebasan Berekspresi SAFEnet, Ika Ningtyas mengatakan, pemidanaan masyarakat yang berekspresi di media sosial sepanjang 2020 terjadi karena dua hal utama. Pertama, anggapan menyebarkan hoaks soal virus corona Covid-19. Kedua, anggapan menyampaikan hoaks soal UU Cipta Kerja.

Padahal, hoaks terbagi dalam dua jenis: disinformasi dan misinformasi. Disinformasi merupakan informasi keliru yang sengaja disebarkan untuk menipu orang lain. Misinformasi adalah sebuah informasi keliru yang disebarkan oleh seseorang, meski ia tak tahu bahwa informasi tersebut salah.

Dalam kasus hoaks corona dan UU Cipta Kerja, kebanyakan masyarakat menyebarkan misinformasi. Kondisi ini terjadi karena corona merupakan penyakit baru dan butuh penelitian lebih lanjut. Sedangkan terkait UU Cipta Kerja, pemerintah sendiri masih belum secara transparan menyampaikan isi aturan tersebut kepada publik.

“Warga tidak tahu mana versi final dari UU Cipta Kerja yang disahkan. Bagaimana kemudian kritik dari masyarakat, konten yang diunggah masyarakat itu di stempel hoaks?" kata Ika. Oleh karena itu, ia menilai pemidanaan terhadap orang-orang yang berekspresi di media sosial tidak tepat.

Menanggapi persoalan ini, Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman membantah alarm penurunan kualitas demokrasi di Indoensia terlihat saat pemerintahan Jokowi-Ma’ruf. Ia mengatakan, Jokowi tegak lurus dan menegakkan sumpahnya untuk menjalankan demokrasi dan Undang-Undang Dasar 1945.

“Serta peraturan perundang-undangan demokratis seperti UU No.9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyatakan Pendapat di Muka Umum,” kata Fadjroel kepada Katadata.co.id, Senin (26/10).

Halaman:

Editor: Muhammad Ahsan Ridhoi