Advertisement
Advertisement
Analisis | Rendahnya Akses Perbankan Bisa Ganjal Digitalisasi Ekonomi Halaman 2 - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Rendahnya Akses Perbankan Bisa Ganjal Digitalisasi Ekonomi

Foto: Joshua Siringo/Katadata
Belum semua masyarakat Indonesia memiliki dan menggunakan layanan pembayaran digital. Transaksi nontunai selama tiga bulan terakhir masih minim. Ini berpotensi menghambat digitalisasi ekonomi.
Author's Photo
5 November 2020, 09.12
Button AI Summarize

Khusus Jawa menjadi ironi lantaran memiliki jumlah agen layanan keuangan digital (LKD) dan kantor layanan bank terbanyak dibanding wilayah lain. Data Bank Indonesia per Agustus 2020 menyatakan, jumlah agen LKD di pulau ini mencapai 346.158 unit dan kantor layanan bank 18.803 unit.

Jumlah tersebut jauh dibandingkan di Papua, Maluku, dan Sulawesi yang hanya memiliki agen LKD 59.385 unit dan kantor layanan bank 3.088 unit. Sedangkan, survei KIC menyatakan hanya 17,2% responden di wilayah ini yang tak memiliki layanan perbankan dalam bentuk apapun.  

Menilik dari rentang usia, Generasi Y (23-38 tahun) lebih ramah menggunakan layanan perbankan. Sekitar 40-70% generasi ini memiliki semua jenis layanan. Hal ini berbanding terbalik dengan Baby Boomer (55-65 tahun) yang tingkat kepemilikannya kurang dari lima persen di seluruh jenis layanan. 

Dari seluruh responden yang memiliki layanan perbankan, 50,3% mengaku menggunakan ATM bank untuk bertransaksi selama tiga bulan terakhir. Disusul rekening tabungan bank (14,1%) dan mobile banking (3,1%).

Sedangkan, belum mencapai 2% responden yang mengaku menggunakan layanan berjenis e-money dan e-wallet. Padahal, kedua layanan tersebut hari ini yang paling banyak terkoneksi dengan layanan digital lainnya. Misalnya, OVO dan Gopay yang terkoneksi dengan aplikasi ojek daring. Lalu, Shopee Pay yang terhubung dengan e-commerce Shopee.   

Tak hanya itu, survei ini pun menunjukkan kebiasaan masyarakat bertransaksi secara nontunai masih rendah. Mayoritas (90,4%) responden menyatakan lebih sering menggunakan tunai dalam bertransaksi selama tiga bulan terakhir. Dengan kata lain, pengguna internet yang menjadi responden dan semestinya sudah akrab dengan dunia digital pun masih ragu bertransaksi nontunai.

 “Perlu upaya lebih keras untuk memasyarakatkan penggunaan instrumen nontunai sebagai alat transaksi,” kata Direktur Riset KIC, Mulya Amri, Jumat (23/10).

Berkaca kepada seluruh data tersebut, penting bagi pemerintah menggalakkan literasi layanan pembayaran perbankan kepada masyarakat. Bukan hanya membangun infrastruktur. Mengingat, data Jawa menunjukkan bahwa infrastruktur yang mumpuni ternyata tak berbanding lurus dengan kepemilikan masyarakatnya terhadap layanan perbankan.   

Selain itu, pemerintah juga perlu mendorong penetrasi pelaku usaha pembayaran digital untuk semakin menjangkau masyarakat. Bisa mengintegrasikan layanan mereka dengan pelayanan publik. Sehingga, masyarakat akan lebih ramah terhadap layanan pembayaran digital, pelaku usaha mendapat pasar, dan pelayanan publik bisa lebih akuntabel seperti terhindar dari pungutan liar.

Halaman:

Editor: Muhammad Ahsan Ridhoi