Advertisement
Advertisement
Analisis | Robohnya Industri Sepak Bola Nasional Saat Pandemi Halaman 2 - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Robohnya Industri Sepak Bola Nasional Saat Pandemi

Foto: Joshua Siringo Ringo/Katadata
Libur kompetisi sejak 15 Maret lalu membuat klub sepak bola merugi miliaran rupiah. Hal ini berimbas pada gaji pemain, pelatih, dan ofisial lain. Sebagian pemain terpaksa beralih ke liga tarkam.
Andrea Lidwina
28 November 2020, 14.40
Button AI Summarize

Bali United FC pun menjadi klub nilai pasar (market value) tertinggi di Liga 1, yakni sekitar Rp 83 miliar. Angka itu jauh berbeda dari Persiraja Banda Aceh dan Persik Kediri yang masing-masing senilai Rp 19,4 miliar dan Rp 14,7 miliar. Dengan kata lain, kondisi keuangan klub lain bisa lebih buruk. Apalagi yang tak memiliki basis pendukung besar.

Presiden Persik Kediri Abdul Hakim Bafagih telah mengakui kondisi keuangan klubnya sangat sulit. Ia pun menilai subsidi dari PT LIB yang selama pandemi menjadi andalan banyak klub tak cukup untuk menutup beban keuangan. Ia pun mengusulkan keringanan lain, seperti izin merenegoisasi kontrak pemain dan pelatih.

“Itu wajar dilakukan. Seluruh sektor industri juga melakukan hal yang sama,” katanya melansir Antara.

PT LIB memberikan subsidi setotal Rp 5,2 miliar kepada seluruh klub Liga 1. Sebanyak Rp 520 juta telah diberikan kepada seluruh klub pada termin pertama. Pencairan termin kedua dengan nilai sama telah dilakukan pada akhir Mei lalu.

Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) pun telah memberikan izin klub menggaji pemain, pelatih, dan ofisial tim sebesar 25% dari kontrak selama libur kompetisi. Selain Bali United FC dan Persib Bandung yang hanya memotong 50% gaji pemainnya, klub lain menjalankan keputusan tersebut.

LATIHAN MANDIRI PEMAIN PERSIK KEDIRI
LATIHAN MANDIRI PEMAIN PERSIK KEDIRI (ANTARA FOTO/Prasetia Fauzani/hp.)

Pemain pada akhirnya menyiasati keputusan tersebut dengan membuka usaha dan bermain di laga antarkampung (tarkam). Pemain Persib Bandung, Kim Jeffrey Kurniawan, misalnya, berjualan roti Jerman. Sementara yang bermain di tarkam seperti Kapten Persela Lamongan, Eky Taufik yang mengaku kepada CNN Indonesia bisa meraih Rp 800 ribu- Rp 2 juta untuk tiap pertandingan.

Namun, terjunnya para pemain profesional di laga tarkam berisiko membuat mereka cedera lantaran lawan yang belum tentu memiliki teknik bermain baik. Laga tarkam juga tak memiliki jaminan perawatan kesehatan bagi pemain yang cedera. Sehingga, karier pemain profesional sangat dipertaruhkan dalam laga tarkam. Termasuk juga kualitas liga jika banyak kehilangan pemain profesional.

Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) memperkirakan kerugian ekonomi dari terhentinya kompetisi sepak bola di dalam negeri mencapai Rp 2,7 triliun sampai Rp 3 triliun dalam satu tahun.

“Dampak ekonomi ini menjadi besar karena sepak bola sudah menjadi industri dan menggerakkan kesempatan kerja hingga 24 ribu orang,” kata Kepala Kajian Iklim Usaha dan Rantai Global LPEM FEB UI Mohamad Dian Revindo pada 26 Juni 2020, seperti dikutip dari situs PSSI.

LIB kini berencana melanjutkan pertandingan sepak bola musim kompetisi 2020 pada Februari 2021, tetapi kepastiannya masih bergantung pada situasi pandemi Covid-19 dan izin dari kepolisian. Maka, seluruh pihak harus bekerja keras bersama menyudahi pandemi agar sepak bola dalam negeri segera bangkit dari keterpurukan. Sebagaimana kata Diego Maradona, “keberhasilan adalah karena kerja keras. Keberuntungan tak memiliki andil apapun pada kesuksesan.”

Halaman:

Editor: Muhammad Ahsan Ridhoi