Advertisement
Analisis | Jalan Sempit Kandidat Perempuan di Pilkada 2020 - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Jalan Sempit Kandidat Perempuan di Pilkada 2020

Foto: Joshua Siringo Ringo/Katadata
Jumlah calon kepala daerah perempuan masih minim di Pilkada tahun ini. Peluang terpilih semakin berat karena pemilihan berlangsung saat pandemi Covid-19.
Author's Photo
2 Desember 2020, 09.46
Button AI SummarizeBuat ringkasan dengan AI

Partisipasi politik perempuan dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2020 masih minim. Pandemi Covid-19 pun membuat jalan mereka untuk terpilih semakin terjal. Hal ini bisa berimplikasi pada kebijakan daerah yang mengakomodasi kepentingan perempuan.     

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mencatat 159 kandidat perempuan atau 11% dari total 1.432 yang lolos verifikasi pada Pilkada 2020. Rinciannya lima orang mencalonkan di tingkat provinsi, 26 orang di tingkat kota, dan 128 orang di tingkat kabupaten untuk seluruh posisi.  

Tingkat partisipasi tersebut hanya naik tipis dari tiga Pilkada sebelumnya. Pada 2018 tercatat sebanyak 94 kandidat perempuan di seluruh jenjang dan posisi atau 8,2% dari total 1.140 calon. Lalu, pada 2017 hanya 45 atau 7,3% dari total 620 calon. Sementara pada 2015 sebanyak 123 atau 7,5% dari total 1.646 kandidat.

Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraeni menilai ada dua penyebab utama minimnya partisipasi perempuan di Pilkada. Pertama, perempuan tak banyak terlibat dalam pengambilan keputusan pencalonan di partai politik. Hal ini karena laki-laki masih mendominasi jabatan strategis di partai.

Dari seluruh partai politik yang eksis di Indonesia saat ini, hanya PDIP yang memiliki ketua umum perempuan. Riset Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia berjudul Partisipasi Tanpa Representasi: Analisis Relasi Organisasi Sayap Perempuan dengan Partai Politik di Indonesia, menunjukkan peran sembilan organisasi sayap perempuan di sepuluh partai yang lolos ke parlemen pada Pileg 2014 sebatas informal.

Hanya Golkar yang memberikan peran formal kepada organisasi sayap perempuannya: Kesatuan Perempuan Partai Golkar (KPPG). Peran tersebut berupa kebijakan ex officio lantaran ketua organisasi tersebut menjabat pula sebagai Ketua Bidang Pemberdayaan Perempuan di struktural partai.

Dalam Pilkada 2020, berdasarkan data Perludem, Golkar paling banyak mengusung kandidat perempuan di semua jenjang. Partai Beringin mengusung 37 orang calon kepala daerah dan 23 orang calon wakil kepala daerah perempuan. Terendah adalah Partai Garuda yang hanya mengusung satu orang calon kepala daerah perempuan.

Kedua, belum ada afirmasi politik bagi perempuan di Undang-Undang Pilkada. Tak seperti di pemilihan legislatif (Pileg) yang mensyaratkan setiap partai politik mengusung 30% kandidat perempuan agar bisa lolos pemilu. Itu pun partisipasi politik perempuan di Pileg masih belum jauh dari angka afirmasi.  

Hasil riset Dosen Universitas Bina Nusantara, Ella S. Prihatini berjudul Women and Social Media During Legislative Election in Indonesia, menyatakan rata-rata persentase calon legislative (caleg) perempuan dari semua partai dalam empat Pileg terakhir berkisar antara 32,32% sampai 41,16%.

Riset itu juga mencatat tingkat kemenangan tertinggi caleg perempuan pada 2014, yakni 3,93% dari total yang melaju. Sementara, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat rasio keterwakilan perempuan di parlemen tertinggi pada 2019 dengan 20,52%. Belum mencapai angka minimal 30% agar mereka dapat memperjuangkan kepentingan perempuan di parlemen.

“Makanya peraturan Pilkada mendatang harus memasukkan afirmasi untuk kandidat perempuan. Sekarang kan syaratnya hanya dukungan minimal 20-25%, kalau kandidat perempuan bisa dikurangi 30% dari syarat itu,” kata Titi kepada Katadata.co.id, Senin (30/11).

Partisipasi yang minim berkorelasi dengan rendahnya tingkat keterpilihan perempuan di Pilkada. Pada Pilkada 2018, berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU), hanya 31 orang terpilih atau setara 32,98% dari 94 perempuan yang melaju.

Secara rasio pengisian pos jabatan, perempuan hanya memenangi 9,17% dari total 338 yang diperebutkan pada Pilkada 2018. Rasio tertinggi di pos wakil wali kota dengan 15,38%. Terendah di pos gubernur dengan 5,88%. Hanya Khofifah Indar Parawansa yang berhasil menjadi gubernur dari 17 pos yang ada. Artinya masih banyak daerah di negeri ini yang tak dipimpin perempuan.

Pada Pilkada 2018, calon perempuan yang terpilih paling banyak dari kalangan swasta, petahana, dan anggota legislatif, di semua jenjang dan posisi jabatan. Calon perempuan di Pilkada 2020 paling banyak dari ketiga latar belakang tersebut, sebagaimana catatan Perludem. Artinya, peluang mereka untuk menang besar.  

Perludem mencatat 30 orang calon perempuan petahana di Pilkada 2020. Lalu, 54 orang dari swasta, 21 orang anggota DPRD kabupaten/kota, 12 orang anggota DPRD provinsi, 4 orang anggota DPR RI, dan 1 orang anggota DPD RI.  

Petahana yang maju dalam Pilkada 2020 salah satunya Bupati Klaten, Sri Mulyani. Ia sempat menuai kontroversi karena membagikan sembako bansos Covid-19 berlogo dirinya. Sementara yang berlatar belakang swasta salah satunya Rahayu Saraswati Djojohadikusumo. Ia adalah keponakan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dan sempat masuk dalam isu dinasti politik di Pilkada kali ini.  

Rahayu, pada 27 Juli lalu menyatakan kepada Katadata.co.id bahwa rekomendasinya di Pilwalkot Tangerang Selatan “tak ada pemikiran soal bentuk politik kekuasaan elite” dan menilai pandangan semacam itu sebagai “lucu.”

Pilkada di tengah pandemi Covid-19 bisa semakin menurunkan tingkat keterpilihan calon perempuan. Hal ini karena partisipasi pemilih terancam anjlok. Tercermin dari hasil survei Indikator Politik Indonesia pada Juli lalu yang menunjukkan 63,1% masyarakat menilai Pilkada 2020 perlu ditunda. Mereka pun menyatakan tak akan datang ke tempat pemungutan suara pada 9 Desember.  

Padahal riset Perludem pada pemilu 2014 menunjukkan partisipasi pemilih perempuan lebih banyak dari laki-laki, yakni 52% berbanding 48%. Artinya, peluang loyalitas pemilih perempuan bisa semakin berkurang ketika tingkat partisipasi rendah. Itu pun belum tentu pemilih perempuan memilih kandidat berjenis kelamin sama.   

“Makanya saya sebut masalah partisipasi perempuan di Pilkada 2020 itu multidimensional,” kata Titi.

Keterwakilan perempuan dalam politik sangat penting untuk mengurangi angka Indeks Ketimpangan Gender (IKG) Indonesia yang saat ini masih 0,421, berdasarkan data BPS. Selain itu agar kepentingan perempuan semakin terakomodasi dalam kebijakan, misalnya terkait penciptaan lapangan kerja dan perlindungan dari kekerasan seksual.

Untuk dapat merealisasikan kesetaraan gender dalam politik, peraturan pemilu perlu semakin mengafirmasi perempuan. Bukan hanya pada partisipasi di Pileg, tapi juga Pilkada. Begitu juga perlu afirmasi pendanaan bagi pemberdayaan politik perempuan di partai.

Editor: Muhammad Ahsan Ridhoi