Advertisement
Advertisement
Analisis | Mengapa Indonesia Belum Mencapai Puncak Pandemi Covid-19? Halaman 2 - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Mengapa Indonesia Belum Mencapai Puncak Pandemi Covid-19?

Foto: Joshua Siringo/Katadata
Jumlah kasus Covid-19 di Indonesia terus meningkat dan terlihat belum mencapai puncaknya. Sengkarut berbagai persoalan menyebabkan sulitnya memprediksi puncak pandemi dan melandaikan kurva kasus pagebluk tersebut.
Author's Photo
11 Desember 2020, 16.38
Button AI Summarize

Permasalahan bertambah karena pemerintah terlalu cepat menerapkan adaptasi kebiasaan baru (AKB) pada Juni lalu, saat kurva kasus Covid-19 belum melandai. Pergerakan masyarakat pun tak terbendung, ketika cuti bersama akhir Oktober 2020. Trennya berlanjut hingga November lalu. Mobilitas masyarakat di stasiun transit sebesar -29,3%. Meski masih di bawah normal (0%), namun angka itu menjadi yang tertinggi sejak Maret lalu.

Pemerintah mengambil keputusan tersebut dengan dalih menjaga pijakan “gas dan rem” antara ekonomi dan penanganan kesehatan. Dalih pemerintah adalah untuk tetap menjaga perekonomian dan menghindari krisis ekonomi yang semakin dalam.  

“Ya susah ini, apalagi di negeri seperti kita ini yang kebijakannya terus berubah. Jadi kita enggak tahu kapan (pandemi) berakhir,” ujar pakar epidemiologi Universitas Airlangga Windhu Purnomo, seperti dikutip dari Kompas.com.

Pemerintah pun seperti kecolongan mengantisipasi kerumunan massa saat kedatangan pemimpin Front Pembela Islam (FPI), Muhammad Riziq Shihab di Bandara Soekarno-Hatta pada 10 November lalu. Begitu juga pada kerumunan massa dalam acara lain yang melibatkan Rizieq, seperti pernikahan putrinya pada 14 November. Sekitar 10 ribu orang menghadiri acara tersebut.

Akibatnya, tercipta klaster Covid-19 dari seluruh kerumunan massa yang melibatkan Rizieq dengan 77 orang terkonfirmasi positif pada 20 November 2020. Pemerintah baru bertindak setelah klaster terjadi. Polda Metro Jaya menetapkan Rizieq sebagai tersangka pada 10 Desember 2020 karena melanggar Pasal 160 KUHP tentang menghasut masyarakat melakukan perbuatan pidana sehingga terjadi kedaruratan kesehatan.

Infografik_Waspada klaster corona dari kegiatan keagamaan
Infografik_Waspada klaster corona dari kegiatan keagamaan (Katadata)

Salah satu anggota Tim ITB, Nuning Nuraini, juga menyebut perbedaan data Covid-19 memengaruhi kesulitan penanganan dan prediksi puncak serta akhir pandemi. “Estimasinya (kasus Covid-19) akan jutaan karena penduduknya ratusan juta juga,” kata Nuning pada Selasa (24/11) lalu.

KawalCovid-19 mencatat per 9 Desember 2020 selisih total kaus Covid-19 nasional dalam data pemerintah pusat dan daerah sebanyak 23.960 kasus. Jumlah total kasus dalam data daerah lebih banyak. Hal ini mengindikasikan pula bahwa jumlah kasus Covid-19 nasional bisa lebih banyak dari yang tercatat selama ini.

Pada saat bersamaan, masyarakat mulai mengidap pandemic fatigue atau kelelahan terhadap pandemi. Ketidakpastian kapan pandemi berakhir memicu demotivasi pada masyarakat dan berakibat pada abai terhadap protokol kesehatan. Sehingga berpotensi mendongkrak laju penularan Covid-19.

Dalam survei Badan Pusat Statistik (BPS) yang menjaring 90.967 responden, baru berkisar 73,5-92% yang mengaku sering menerapkan protokol kesehatan seperti memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak. Menunjukkan bahwa masih ada masyarakat yang acuh terhadap protokol kesehatan.

Kendati demikian, pemerintah terlihat terus membenahi penanganan Covid-19. Salah satunya dengan meningkatkan jangkauan tes secara nasional. Menurut Satgas Penanganan Covid-19, ada 16 provinsi yang pernah menembus jumlah tes polymerase chain reaction (PCR) berdasarkan standar WHO.

Data pun menunjukkan pemerintah mampu mencetak rekor tes harian tertinggi pada 3 Desember 2020, yakni sebanyak 45.479 spesimen dalam sehari. Sehingga totalnya mencapai 3.952.752 spesimen.

Jumlah kabupaten/kota yang berada di zona merah atau dengan kerawanan tinggi Covid-19 pun berkurang dari 50 menjadi 47 per 6 Desember 2020. Jumlah daerah dalam zona oranye atau dengan kerawanan sedang pun berkurang dari 374 menjadi 371. Artinya, ada perkembangan baik dalam penanganan virus corona di daerah.

Belum tampaknya Indonesia akan menghadapi gelombang kedua pandemi, membuat pemerintah dan masyarakat harus semakin bersinergis untuk terus menekan angka persebaran Covid-19. Pasalnya, pandemi mustahil berakhir tanpa kerja kolektif.

Halaman:

Editor: Muhammad Ahsan Ridhoi