Advertisement
Advertisement
Analisis | Selamat Datang Era Bank Digital di Indonesia, Prospek & Tantangannya Halaman 2 - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Selamat Datang Era Bank Digital di Indonesia, Prospek & Tantangannya

Foto: 123RF
Indonesia kian dekat dengan era bank digital atau neobank. Perkembangannya berprospek cerah, tapi tetap memiliki sejumlah tantangan.
Andrea Lidwina
24 Desember 2020, 10.34
Button AI Summarize

Bank digital di negara lain yang telah beroperasi, yakni: Volt Bank di Australia, Jibun Bank di Jepang, KakaoBank dan K Bank di Korea Selatan, WeBank dan MYBank di Tiongkok, dan Monzo Bank di Inggris.  

 

Peluang bisnis bank digital di Indonesia tetap cerah. Pasalnya, jumlah pengguna internet di negeri ini terus tumbuh yang mencerminkan besarnya pasar. Berdasarkan data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), jumlah pengguna internet mencapai 196,7 juta jiwa pada 2019. Angka itu naik hampir 15% dibandingkan tahun sebelumnya.

Dari jumlah tersebut, sebagian besar belum tergarap oleh layanan perbankan digital. APJII mencatat dari 55,8% responden yang membeli barang kebutuhan melalui internet, baru 10,8% yang menggunakan layanan keuangan digital seperti m-banking, i-banking, dan uang elektronik untuk membayar transaksinya.

Padahal, pengguna layanan keuangan digital di Indonesia kian meningkat. AppAnnie, misalnya, mencatat jumlah pengguna aktif bulanan (monthly active user/MAU) mobile banking di dalam negeri sepanjang Januari-September 2020 tumbuh 44% secara tahunan. Persentase itu menjadi ketiga tertinggi di Asia Tenggara. Artinya, potensi neobank menggaet nasabah sangat besar.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Aviliani mengatakan bank digital juga mampu menyaingi bisnis fintech, seperti dikutip dari CNN Indonesia. Menurutnya, bank digital menawarkan layanan yang mudah, cepat, dan serba digital, seperti yang dilakukan fintech saat ini. Meski begitu, bank digital unggul dalam memberikan beragam layanan serupa bank konvensional, bukan hanya pinjaman atau pembayaran saja.

Selain itu, Menurut Aviliani, bank digital sudah memiliki ekosistem yang memadai untuk menghimpun dana, berbeda dengan fintech yang perlu berkolaborasi dengan bank untuk menghadirkan ekosistem tersebut.

“Mereka (fintech) belum punya ekosistem yang cukup untuk menutup biaya operasional. Dananya pun masih dari bank karena tidak bisa himpun dana dari tabungan, tapi dari investor,” kata Aviliani.

Namun, bank digital menghadapi sejumlah tantangan. Pertama, belum ada aturan mengenai neobank. Bank digital saat ini masih mengacu pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 12 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Layanan Perbankan Digital oleh Bank Umum. Padahal, bank digital memiliki aspek-aspek baru, di antaranya pembukaan rekening secara virtual dan keamanan data pengguna.

Kedua, belum ada regulasi terkait perlindungan data dan sistem keamanan data yang memadai. Hal ini berpotensi mengakibatkan data pengguna disalahgunakan oleh pihak ketiga. Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) melaporkan serangan terhadap situs internet, pengumpulan informasi, dan trojan paling banyak ditemukan pada Januari-Juli 2020. Total serangan siber pun mencapai 189,9 juta selama periode tersebut.

Ketiga, literasi keuangan masyarakat Indonesia masih rendah. Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2019 menyebutkan literasi keuangan nasional sebesar 38%. Jika dilihat berdasarkan sektor jasa keuangan, perbankan punya persentase tertinggi, yakni 36,1%. Meski begitu, masih lebih banyak ruang yang belum terisi dengan pengetahuan dan keyakinan soal layanan keuangan.

Melihat peluang dan tantangan yang ada, bank digital perlu memutar otak untuk mengamankan, bahkan memperbesar porsinya dalam layanan keuangan di Indonesia.

Halaman:

Editor: Muhammad Ahsan Ridhoi