Advertisement
Advertisement
Analisis | Mengapa Kurva Covid-19 di India Cepat Melandai Daripada RI? Halaman 2 - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Mengapa Kurva Covid-19 di India Cepat Melandai Daripada RI?

Foto:
Pemerintah India mampu menyelaraskan lockdown, pelacakan kasus, dan tes Covid-19 secara massif. Sebaliknya, tes dan pelacakan di Indonesia masih rendah.
Author's Photo
11 Februari 2021, 09.02
Button AI Summarize

Mengutip Kompas, ketika puncak Covid-19 terjadi pada Agustus-September 2020, pemeriksaan Covid-19 di India sanggup menjangkau sekitar 1 juta orang per hari. Setiap hari berhasil menemukan 90.000 kasus positif.

India mengoptimalkan pemeriksaan Covid-19 melalui tes antigen. Dewan Riset Medis India (ICMR) menyetujui metode tes tersebut guna memaksimalkan tes di berbagai wilayah. Namun tingkat akurasi true negative (hasil negatif yang teridentifikasi benar) berkisar 50-84%.

Sehingga, ICMR dan Lembaga Ilmu Kedokteran India (AIIMS) merekomendasikan bagi individu dengan hasil negatif, perlu kembali melakukan tes polymerase chain reaction (PCR) jika bergejala untuk menghindari hasil true negative, seperti dilansir dari BBC.

Kebijakan tersebut berbeda dengan di Indonesia yang merekomendasikan tes PCR setelah seseorang terdeteksi positif melalui tes antigen. Sementera mereka yang hasil tes antigennya negatif tak perlu tes PCR.

Padahal tingkat akurasi antigen lebih rendah dari PCR, sebab hanya mengidentifikasi respons imun yang berbentuk antibodi. Tes PCR masih bertahan dengan akurasi tertinggi karena mampu mendeteksi materi genetik virus (RNA). Hal ini membuat mereka yang negatif dari hasil tes antigen tetap berpeluang positif dan menularkan Covid-19 ke orang lain sebelum terkonfirmasi dalam tes PCR.    

Tak berhenti di tes Covid-19, pemerintah India juga menggalakkan pelacakan kasus dari rumah ke rumah. Langkah seperti ini yang belum terjadi di Indonesia. Rasio lacak-isolasi (RLI) Indonesia, menurut KawalCovid19, total RLI hanya sebatas 1,28 per 3 Februari 2021. Artinya, hanya sekitar satu orang dari satu kasus positif Covid-19 yang dapat terlacak.

Bahkan Bali, Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Sumatra Utara, dan Papua Barat tak mampu melacak kontak sama sekali alias RLI 0. Padahal Badan Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan standar RLI setidaknya mencapai 30, tiap satu kasus positif dapat terlacak hingga 30 orang lainnya.

Tanpa diiringi tes Covid-19 dan pelacakan kontak erat yang massif, maka aneka kebijakan pembatasan mobilitas masyarakat—mulai dari PSBB, PPKM Jawa-Bali, sampai PSBB Mikro, tak akan berjalan efektif melandaikan kasus di Indonesia.

Kecepatan pemerintah India memvaksinasi Covid-19 penduduknya juga memperkuat penanganan pandemi. Perdana Menteri India Narendra Modi memulai vaksinasi pada 16 Januari 2021 dengan target 300 juta orang dan 1,38 miliar populasi tervaksin hingga Juli 2021. Tenaga kesehatan dan para pekerja garda terdepan dalam menangani pandemi menjadi sasaran penerima vaksin gelombang pertama.  

Berdasarkan data 2 Februari 2021, sebanyak 4.138.918 orang telah menerima vaksin di India. Artinya, sekitar 244 ribu orang per hari menerima vaksin.

Pencapaian tersebut lebih baik dari Indoneia yang baru mampu memvaksinasi 596.260 tenaga kesehatan per 2 Februari. Sehingga, rata-rata pemerintah hanya mampu memvaksinasi 30 ribu orang per hari. Padahal, Indonesia memulai lebih dulu, yakni pada 13 Januari 2021 dengan target 181,5 juta orang dalam 15 bulan.

Dengan perbandingan kecepatan tersebut, herd immunity di Indonesia pun akan lebih lambat terbentuk dari India bila pemerintah tak meningkatkan kapasitas vaksinasi. Pengendalian Covid-19 di Indonesia pun akan lebih lambat, terlebih tes dan pelacakan Covid-19 masih minim.

Oleh karena itu, penting bagi pemerintah Indonesia meneladani India. Jumlah penduduk yang besar bukan alasan untuk permisif atas tingginya kasus Covid-19, tapi justru semakin menggalakkan upaya pencegahan.  India terbukti berhasil melakukannya.

Halaman:

Editor: Muhammad Ahsan Ridhoi