Advertisement
Advertisement
Analisis | Menguji Kesiapan Pasar Mobil Listrik di Indonesia Halaman 2 - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Menguji Kesiapan Pasar Mobil Listrik di Indonesia

Foto: Joshua Siringo Ringo/Katadata
Infrastruktur pendukung mobil listrik di Indonesia masih terbatas. Jenis yang kini beredar di pasar juga masih sedikit dan mahal.
Andrea Lidwina
15 Februari 2021, 10.21
Button AI Summarize

Melansir The Diplomat, pemerintah Tiongkok mengucurkan hampir US$ 60 miliar pada 2009-2017 untuk mengembangkan pasar dan industri mobil listrik. Dana itu digunakan untuk membiayai riset dan pengembangan, membeli sejumlah mobil listrik untuk kebutuhan pemerintah, membangun stasiun pengisian, serta memberikan insentif—subsidi dan pemotongan pajak—bagi produsen dan pembeli.

Meski telah memiliki pasar sendiri, pemerintah Tiongkok memperpanjang pemberian insentif berupa pembebasan pajak selama dua tahun bagi pembeli mobil penumpang yang berharga di bawah US$ 42 ribu atau Rp 590 juta hingga 2022.

Kebijakan tersebut dilakukan lantaran pemotongan insentif yang berlaku pada pertengahan 2019 dan rencana penghapusan seluruhnya pada 2020, telah menurunkan minat masyarakat terhadap mobil listrik.

Di samping itu, industri mobil listrik di Tiongkok kini bersifat kompetitif. Ada 11 perusahaan domestik dan tiga perusahaan luar negeri yang memasarkan dan menjual mobil listrik di negara tersebut, seperti dikutip dari Yahoo Finance.

IEA merekomendasikan sejumlah langkah untuk membuka dan memperluas pasar mobil listrik di suatu negara, termasuk Indonesia. Sebelum mengeluarkan kebijakan apa pun, pemerintah suatu negara perlu menetapkan standar kualitas mobil listrik dan infrastruktur penunjang.

Kemudian, pembangunan infrastruktur dilakukan secara menyeluruh. Dengan begitu, tak ada kendala yang bisa mengurangi kepercayaan masyarakat ketika akan menggunakan mobil listrik.

Pengadaan mobil listrik lantas bisa dimulai dari transportasi publik dan kendaraan pejabat negara. Hal ini bertujuan mempromosikan penggunaan mobil listrik dan manfaatnya pada masyarakat. “Selain itu, memungkinkan produsen untuk memproduksi mobil listriknya secara massal dan mendapatkan nilai ekonomi,” tulis lembaga itu.

Selanjutnya, pemerintah suatu negara perlu meyakinkan masyarakat bahwa menggunakan mobil listrik punya nilai lebih dibandingkan mobil berbahan bakar minyak. Misalnya, memberikan subsidi atau pemotongan pajak saat pembelian, lalu mengurangi tarif parkir dan jalan tol.

Guru Besar Fakultas Teknik Elektro Universitas Indonesia Profesor Iwa Garniwa mengatakan, demand creation perlu dilakukan lebih dulu, antara lain dengan membuat peta jalan mobil berbahan bakar minyak dan gas menuju listrik. Langkah ini akan menunjukkan seberapa besar permintaan terhadap mobil listrik di Indonesia dan bisa menjadi daya tarik bagi para investor.

Investasi tersebut tentu tidak hanya digunakan di hilir, untuk pengembangan infrastruktur dan pasar, tetapi juga di hulu. Data Kementerian BUMN menunjukkan Indonesia punya cadangan nikel—bahan baku utama baterai mobil listrik—terbesar di dunia, yakni 21 juta ton.

Oleh karena itu, selain menjadi pasar yang potensial, Indonesia seharusnya mampu menjadi produsen mobil listrik dan berpartisipasi aktif dalam rantai pasok global.

Halaman:

Editor: Muhammad Ahsan Ridhoi