Advertisement
Advertisement
Analisis | Simpang Siur Data Beras di Balik Polemik Impor Halaman 2 - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Simpang Siur Data Beras di Balik Polemik Impor

Foto:
Indonesia belum memiliki data tunggal terkait beras. Ini menyebabkan kebijakan impor selalu menuai polemik dan berpotensi tak tepat sasaran. Ujungnya, petani dirugikan.
Dimas Jarot Bayu
10 Maret 2021, 16.25
Button AI Summarize

Kebijakan ini, kata Airlangga, juga memperhitungkan kebutuhan bansos bagi warga terdampak Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), korban banjir, dan pandemi Covid-19.     

“Pemerintah melihat bahwa komoditas pangan itu menjadi penting, sehingga salah satu yang penting adalah penyediaan beras dengan stok 1 juta-1,5 juta ton," kata Airlangga dalam Rapat Kerja Kementerian Perdagangan, Kamis (4/3)

Akan tetapi, berpijak pada data yang sama, Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso menilai CBP saat ini masih cukup untuk operasi pasar, bantuan bencana alam, dan bantuan sosial. Sehingga, menurutnya, pemerintah belum perlu mengimpor beras.

 

 

Oleh karena itu, guna mengatasi hal serupa di masa mendatang, penting bagi pemerintah melakukan pendataan tunggal stok pangan, termasuk beras. Sehingga, kebijakan terkait impor pangan tak lagi mengundang polemik yang justru dapat kontraproduktif terhadap penjaminan pangan rakyat.

Selain itu, kebijakan impor pangan yang tak tepat juga bisa merugikan petani, termasuk petani beras. Hal ini lantaran harga beras di tingkat usaha akan menurun bila impor dilakukan di waktu yang salah, seperti saat panen raya atau stok beras sedang surplus. 

Padahal, BPS mencatat harga GKG, gabah kering panen (GKP) dan gabah di luar kualitas  telah mengalami tren penurunan dalam setahun terakhir. BPS juga mencatat masih ada kasus harga gabah di bawah HPP. Pada Februari 2021, ada 870 kasus harga GKP tingkat petani di bawah HPP. Sebanyak 870 kasus harga GKP di bawah HPP terjadi di tingkat penggilingan. Sementara, ada 308 kasus harga GKG di bawah HPP.

 

Hal tersebut dapat berdampak kepada turunnya pendapatan yang akan diterima para petani. Nilai tukar petani (NTP) yang menjadi indikator untuk melihat kemampuan atau daya beli petani di perdesaan baru saja menurun 0,15% menjadi 103,10 pada Februari 2021.

NTP adalah perbandingan harga yang diterima petani terhadap indeks harga yang dibayar petani. NTP juga menunjukkan daya tukar dari produk pertanian dengan barang dan jasa yang dikonsumsi maupun untuk biaya produksi.

Penurunan NTP pada Februari 2021 dipengaruhi turunnya NTP di subsektor tanaman pangan 0,84% dan subsektor peternakan 0,33%. Sementara, NTP pada subsektor tanaman hortikultura, tanaman perkebunan rakyat, dan perikanan masing-masing naik sebesar 1,83%, 0,35%, dan 0,3%.

Halaman:

Editor: Muhammad Ahsan Ridhoi