Advertisement
Advertisement
Analisis | Indonesia dalam Ancaman Krisis Regenerasi Petani Halaman 2 - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Indonesia dalam Ancaman Krisis Regenerasi Petani

Foto: Ilustrasi: Joshua Siringo ringo/ Katadata
Semakin sedikit anak muda berprofesi sebagai petani. Selain pendapatan dari sektor pertanian dinilai kurang menjanjikan, Indonesia menghadapi alih fungsi lahan produktif ke perindustrian dan infrastruktur jalan.
Dimas Jarot Bayu
1 April 2021, 08.33
Button AI Summarize

Khusus petani padi, pendapatan per hektare sawah setiap musim tanam hanya Rp 4,95 juta. Nominal tersebut didapatkan dari perhitungan nilai produksi dikurangi ongkos produksi. Berdasarkan “Survei Struktur Ongkos Usaha Tanaman Padi 2017”, nilai produksi budidaya padi sebesar Rp 18.5 juta per hektare per musim. Sedangkan, ongkos produksinya mencapai Rp 13,6 juta.

Anggota Ombudsman Yeka Hendra Fatika mengatakan, jika dalam setahun ada tiga kali musim panen, maka pendapatan yang diterima petani padi setiap satu hektare sawah per bulannya hanya sekitar Rp 1,25 juta. Namun pendapatan riil mereka hanya berkisar Rp 800 ribu per bulan.

“Karena rata-rata petani padi di Indonesia hanya menguasai lahan seluas 0,66 hektare,” kata Hendra dalam konferensi virtual pada Rabu, 24 Maret 2021.

Di samping soal pendapatan, berkurangnya jumlah petani juga diperparah oleh makin susutnya lahan pertanian. Lahan baku sawah, misalnya, tercatat mencapai 8,1 juta hektare pada 2009. Sepuluh tahun berikutnya, luas lahan baku sawah berkurang hingga 604,3 ribu hektare menjadi 7,46 juta hektare.

Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo mengatakan, banyak lahan pertanian yang beralih menjadi industri dan jalan. Pada 2019, dia mengatakan peralihan lahan pertanian tersebut mencapai 150 ribu hektare. Jumlah itu meningkat dari alih fungsi lahan pada medio 1990 yang hanya sebesar 30 ribu hektare.

“Memang ada kenyataan alih fungsi lahan pertanian yang masih terus berlangsung saat ini, bahkan cenderung meningkat,” kata Syahrul dalam rapat kerja dengan Komisi IV DPR di Jakarta, Senin, 29 Maret 2021.

Pemerintah memang telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2019 tentang Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah untuk memperketat alih fungsi lahan. Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) pun telah mengeluarkan Keputusan Nomor 686/SK-PG.03.03/XII/2019 tentang Penetapan Luas Lahan Baku Sawah Nasional Tahun 2019.

Keduanya merupakan upaya mengendalikan alih fungsi lahan secara ketat. Namun, Dwi Andreas, guru besar Ilmu Pertanian IPB, menilai pelaksanaan aturan tersebut masih minim. Alhasil, alih fungsi lahan pertanian masih saja terjadi setiap tahunnya.

“Seharusnya kan tujuannya bisa meningkatkan luas lahan yang digarap, bukan semakin lama menyempit,” kata Andreas ketika dihubungi Katadata.co.id pada Senin, 29 Maret 2021.

Selain masalah lahan, Andreas meminta pemerintah meningkatkan pendapatan petani. Caranya dengan memberikan perlindungan harga di tingkat usaha tani. Menurutnya, pemerintah masih belum memberikan perlindungan harga yang layak kepada petani. Pasalnya, harga pokok penjualan (HPP) gabah yang ditetapkan pemerintah masih berada di bawah biaya produksi.

Merujuk Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 24 Tahun 2020, HPP GKP sebesar Rp 4.200 per kilogram (kg). Sementara berdasarkan kajian Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) pada 2019, biaya produksi gabah di dalam negeri mencapai Rp 4.523 per kg.

“India itu menetapkan harga di tingkat usaha tani sebesar 150% dari biaya produksi. Indonesia menetapkan itu masih lebih rendah dari biaya produksi,” kata Andreas.

Halaman:

Editor: Aria W. Yudhistira