Advertisement
Advertisement
Analisis | Seberapa Besar Peluang Bukit Algoritma Jadi Silicon Valley Indonesia? Halaman 2 - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Seberapa Besar Peluang Bukit Algoritma Jadi Silicon Valley Indonesia?

Foto: Ilustrasi: Joshua Siringo Ringo/ Katadata
Silicon Valley di Amerika Serikat lahir berkat adanya ekosistem yang saling berkolaborasi antara pemerintah, dunia usaha, dan perguruan tinggi. Ada sejumlah tantangan yang bakal dihadapi Indonesia untuk mewujudkan mimpi membangun Bukit Algoritma sebagai pusat industri teknologi seperti Silicon Valley.
Author's Photo
28 April 2021, 06.15
Button AI Summarize

“Padahal riset dan inovasi merupakan kunci kemajuan di masa depan,” tuturnya dalam "Tantangan Kelola Riset dan Inovasi" yang dimuat di harian Kompas, 7 Agustus 2020.

Pembubaran Kemenristek seolah ironi dengan keinginan Indonesia mewujudkan visi Indonesia 2045. Salah satu visi tersebut menjadi pemimpin dunia dengan ekonomi berbasis pengetahuan dan inovasi. “Kunci membangun ekonomi berbasis ilmu pengetahuan, dimulai dari memberi ruang bagi ilmuwan untuk berkarya, mendorong pengembangan dan komersialisasi hasil riset,” ujarnya.

Made with Flourish

Kolaborasi Kampus dan Industri

Peran swasta dalam menyokong kegiatan riset di tanah air masih rendah. Berbeda dengan di Singapura atau Amerika Serikat, alokasi anggaran terbesar digelontorkan oleh sektor bisnis dan perguruan tinggi.

Universitas-universitas yang berada di Silicon Valley tak bergerak sendiri. Mereka dapat berkembang karena adanya kerja sama antara pemerintah dan korporasi. Sebagai contoh, Stanford University memiliki sejumlah program yang berafiliasi dengan korporasi, seperti bisnis, ilmu bumi, pendidikan, teknik, humaniora, hukum, dan farmasi. 

Dalam program ini, korporasi dapat mengirimkan sejumlah peneliti ke laboratorium universitas. Kondisi ini memberi akses korporasi untuk memberikan peluang rekrutmen. Sebaliknya para peneliti bisa makin bereksplorasi pada area penelitiannya sembari terus menarik sponsor.

Sementara anggaran R&D pemerintah dialokasikan melalui beberapa agensi dengan evaluasi ketat dari para peneliti dan pihak non-pemerintah. Proposal-proposal penelitian dipilih melalui seleksi ketat, sehingga terciptanya unsur kompetisi untuk mendapatkan pendanaan. 

Ekosistem Bisnis dan Pasar Talenta Digital

Ekosistem bisnis AS telah menciptakan pasar besar talenta digital di Silicon Valley. Hal ini mendorong imigran digital dari seluruh dunia bersaing untuk bekerja maupun studi di kawasan tersebut.

Menurut SVNJ Working Paper, pertumbuhan pasar tenaga kerja di Santa Clara dan San Mateo Counties, serta San Francisco di mana Silicon Valley berada terus tumbuh. Pasar tenaga kerja di kedua wilayah tersebut naik 3,9% dan 10,1% sejak kuartal II-2007 hingga 2013.

Di sisi lain, dalam laporan riset McKinsey dan Bank Dunia, Indonesia kekurangan sembilan juta tenaga digital hingga 2030. Setidaknya butuh 600 ribu pekerja digital setiap tahun. Pada kenyataannya, mayoritas penduduk Indonesia saat ini bekerja di bidang informal. Jumlahnya bahkan meningkat dalam setahun terakhir dari 55,9% pada Agustus 2019 menjadi 60,5% pada 2020.

Sementara jika dilihat berdasarkan lapangan pekerjaannya, masyarakat Indonesia masih berkecimpung di sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan (29,8%) per Agustus 2020. Mereka yang bekerja di sektor informasi dan komunikasi hanya 0,7%.

Kondisi tersebut menunjukkan kesenjangan antara permintaan dan penawaran talenta digital di Indonesia. Pemerintah pun masih mengerjakan pekerjaan rumahnya dengan melakukan beragam pelatihan digital sejak 2018. Meski demikian, upaya tersebut belum menutup permintaan pasar di industri teknologi dan informasi.

Kesenjangan Digital

Pembangunan ekosistem berbasis teknologi perlu menyelesaikan berbagai persoalan yang mendasar lainnya, seperti kesenjangan digital antara daerah. Data Kementerian Komunikasi dan informatika, terdapat 12.548 desa yang belum dialiri internet berjaringan 4G. Sebanyak 9.113 desa di antaranya berada di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).

Meski sekitar 73,7% populasi telah terjangkau internet, tapi tingkat penetrasi ternyata tak berbanding lurus dengan kecepatan internet. Kecepatan internet di Indonesia bahkan menjadi yang terendah di Asia Tenggara. Posisinya tepat di bawah Myanmar dan Kamboja. Rata-rata kecepatan unduhan internet seluler Indonesia hanya 17,74 megabit per second (Mbps). Pencapaiannya kontras dengan rata-rata kecepatan global yang mencapai 48,4 Mbps.

Indonesia menghadapi banyak persoalan mendasar terkait akses dan koneksi internet, sehingga berpotensi menghambat perkembangan teknologi. Artinya, banyak pekerjaan rumah yang mesti diselesaikan sembari membangun Bukit Algoritma. Kalau tidak, keinginan membangun Silicon Valley hanya sekadar mimpi. 

Halaman:

Editor: Aria W. Yudhistira