Advertisement
Advertisement
Analisis | Gunung Es Ledakan Kasus Covid-19 Indonesia, Apa Faktornya? Halaman 2 - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Gunung Es Ledakan Kasus Covid-19 Indonesia, Apa Faktornya?

Foto: Joshua Siringo Ringo/ Ilustrasi/ Katadata
Ledakan kasus Covid-19 di Indonesia terjadi sejak libur hari raya Idul Fitri usai. Lonjakan kasus tersebut diduga akibat varian baru virus corona “Delta” yang berasal dari India. Bak gunung es, penularan Covid-19 sulit dikendalikan tanpa tes secara masif.
Annissa Mutia
5 Juli 2021, 13.49
Button AI Summarize

Permasalahan yang Menghambat Testing

Pada awal pandemi, Presiden Joko Widodo sempat memuji Sumatera Barat (Sumbar) sebagai salah satu provinsi dengan penanganan Covid-19 terbaik. Cara manjur yang dilakukan Sumbar kala itu adalah dengan memasifkan tes dan kontak erat yang baik, sehingga bisa menekan rasio positif.

Andani Eka Putra adalah orang di balik keberhasilan tes Covid-19 di Sumbar. Saat ini, pengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Andalas tersebut diminta menjadi tenaga ahli di Kemenkes dalam penanganan pandemi Covid-19. 

Menurut dia, salah satu keberhasilan Sumbar pada waktu itu adalah dengan melakukan kolaborasi di antara jaringan laboratorium yang ada di sana. Laboratorium-laboratorium tersebut berada di bawah satu komando sehingga memudahkan koordinasi.

Begitu pun dalam pengadaan bahan dan alat yang dibutuhkan untuk melakukan tes merupakan kerja sama antara pemerintah dan swasta. Hasilnya, kata dia, kapasitas tes meningkat dari 200 sampel menjadi 3.500 sampel per hari.

“Dulu kami mulai testing Mei 2020. Kami periksa Sumatera Barat, Sumatera Utara, Bengkulu, Riau, dan Jambi. Indikator keberhasilannya bisa dilihat dari rasio positif, rasio testing, dan rasio kontak erat,” ujar Andani kepada Katadata.co.id.

Namun keberhasilan di Sumbar sulit dibawa ke skala nasional. Andani mengakui jumlah tes Covid-19 di Indonesia masih jauh dari angka cukup dibandingkan jumlah penduduk yang ada. Seharusnya, tes rata-rata harian di Indonesia sebesar 500 ribu per hari, sehingga dalam sepekan ada 3,5 juta orang yang dites.

Nyatanya jumlah pemeriksaan Indonesia dalam kurun waktu sepekan, yakni pada 21-27 Juni 2021 hanya 570.438 sampel. Jumlah tes tertinggi ada di Jakarta sebanyak 165.486 sampel dan terendah di Sulawesi Barat hanya 335 sampel.

“Sebagai ilustrasi di India, mereka lakukan tes kepada 2,5-3,5 juta orang sehari. Kalau kita penduduknya 1/5 dari India ya idealnya paling tidak 500-600 ribu setiap hari. Nyatanya Indonesia baru 500 ribu per minggu,” katanya.

Cara mengukur seberapa banyak jumlah penduduk yang harus dites, menurut Andani, dilihat dari angka rasio positif. Jika rasio positif di bawah 5% berarti testing standarnya 1 per 1.000 penduduk per pekan. Jika rasio positif lebih tinggi, berarti orang yang dites harus dinaikkan sampai jumlah yang optimal.

Andani mengakui ada sederet problem yang menjadi batu sandungan testing, tracing, dan treatment di tanah air. Pertama, adalah kondisi laboratorium di berbagai daerah yang terpisah-pisah dengan kapasitas yang terbatas. Dia mengungkapkan kapasitas tes rata-rata laboratorium di Indonesia hanya 50 sampai 100 orang per hari.

“Saya tidak yakin kita bisa meniru India, tapi separuhnya saja sudah hebat. Karena rasio di Indonesia saat ini sekitar 3 per 1.000 penduduk per minggu. Itupun sudah campur antara antigen dan PCR,” kata Andani.

Kedua, kurangnya dukungan dari pemerintah daerah (pemda) untuk menyuplai bahan kebutuhan tes. Di samping itu, dia mengatakan, penanganan pandemi di Indonesia masih berbasis pada jumlah kasus. Akibatnya ada pemda yang takut masuk kategori zona merah dan harus memberlakukan pembatasan wilayah.

Lebih lanjut Andani menyampaikan, idealnya penambahan kasus positif di Indonesia sebesar 60 ribuan per hari. Hal ini dinilainya akan memudahkan tindakan pelacakan kontak erat.

“Penambahan jumlah kasus positif kita kan tertinggi baru sekitar 20 ribuan, berarti testing-nya masih rendah. Kalau yang di-­testing banyak, kita jadi tahu sumber virusnya. Kalau kita nggak tahu, pandemi Covid-19 nggak selesai-selesai,” ujarnya.

Persoalan lainnya adalah Indonesia masih ketergantungan impor bahan dan alat tes. Sementara India bisa memproduksi sendiri bahan alat kesehatan seperti tes Covid-19 dan vaksin.

Selain berbagai kendala tersebut, tingkat akurasi tes dan biaya tes juga menjadi persoalan. Masyarakat banyak yang kebingungan dengan tingkat akurasi tes cepat dan antigen. Sementara para ahli lebih menyarankan tes PCR karena bisa mendeteksi materi genetik dari virus, sehingga lebih akurat.

Namun dengan harga tes PCR antara Rp 800 ribu hingga Rp 2,5 juta dinilai mahal bagi mayoritas masyarakat Indonesia. Sampai saat ini pemerintah belum memberikan insentif untuk meringankan biaya PCR bagi masyarakat.

Pentingnya Testing, Tracing, dan Treatment

Andani menjelaskan testing, tracing, dan treatment sangat penting untuk dua hal, yakni diagnosis penyebab virus dan memutus mata rantai penularan virus. Dengan pengujian yang masif, para peneliti dapat menganalisis virus penyebab kasus. Sementara dengan melacak kontak erat dan vaksinasi bisa membantu meredam penularan virus.

Saat ini pemerintah telah menerapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) darurat di Jawa dan Bali mulai 3-20 Juli 2021. Maka pada periode inilah, pentingnya meningkatkan tes, lacak kontak erat, dan perawatan Covid-19.

“PPKM darurat bisa optimal kalau testing, tracing, dan kepatuhan prokes dilakukan. Kalau lihat India, dalam tiga bulan bisa turunkan kasus,” paparnya.

Hal senada juga disampaikan Laura. Menurutnya, kurva kasus Covid-19 di Indonesia dapat mencapai puncaknya dan mulai mendatar jika tes Covid-19 ditingkatkan dalam jumlah besar. Dengan demikian tingkat positivitasnya bisa turun di bawah 5 persen dan masyarakat tetap menjalankan prokes sebagai kewajibannya.

“Lebih baik pemda-pemda transparan dengan angka kasusnya, supaya bisa dianalisis penyebabnya. Pemerintah pun bisa membuat kebijakan menanggulangi Covid-19 yang lebih on target dan efektif,” katanya.

Halaman:

Editor: Aria W. Yudhistira