Advertisement
Advertisement
Analisis | Menguji Rumor Vaksin Covid-19 yang Memandulkan Laki-laki Halaman 2 - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Menguji Rumor Vaksin Covid-19 yang Memandulkan Laki-laki

Foto: Joshua Siringo Ringo/ Ilustrasi/ Katadata
Kabar vaksin Covid-19 bisa menyebabkan kemandulan pada laki-laki masih beredar luas di media sosial. Hal itu tentu bisa mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat, khususnya laki-laki, untuk menerima vaksinasi. Sejauh mana kebenaran tersebut?
Annissa Mutia
19 Agustus 2021, 16.17
Button AI Summarize

Hasilnya, para peneliti tidak menemukan penurunan jumlah atau motilitas sperma (persentase sperma yang “berenang”) setelah vaksinasi. Ini berlaku untuk pria dengan dan tanpa faktor infertilitas.

Berdasarkan penelitian tersebut, tidak ada bukti bahwa vaksin membahayakan sistem reproduksi laki-laki. Namun mengabaikan vaksin dan tertular COVID-19 justru bisa mengganggu sistem reproduksi laki-laki.

“Hoaks itu, nggak ada hubungannya vaksin dengan reproduksi di dalam tubuh,” ujar epidemiolog dari Universitas Airlangga Laura Navika Yamani kepada Katadata.co.id.

Bagaimana Cara Kerja Vaksin Covid-19?

Menurut Laura, vaksin Covid-19 bekerja dengan cara yang sama seperti semua vaksin lainnya, dengan mengaktifkan respons kekebalan alami tubuh. Vaksin mengekspos versi yang tidak berbahaya atau sebagian kecil dari virus ke sistem kekebalan tubuh, memicunya untuk membuat antibodi yang dapat melawan infeksi di masa depan.

Mengutip situs Science Alert, perbedaan di antara produsen vaksin terletak pada bagaimana mereka membuat virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19 menjadi tidak berbahaya atau bagian mana dari virus yang mereka gunakan. Banyak perusahaan vaksin Covid-19 telah memilih untuk menggunakan protein paku virus corona sebagai bahan utamanya.

Protein paku virus corona ada di permukaan virus dan merupakan target respons imun selama infeksi. Vaksin 'generasi berikutnya', seperti vaksin dari Pfizer dan Moderna, menggunakan materi genetik, RNA, untuk mengkode protein paku virus corona. Sementara vaksin dari AstraZeneca menggunakan DNA.

“Terkait kejadian ikutan pasca-imunisasi (KIPI) atau efek samping yang muncul memang sesuatu yang wajar. Jadi vaksin apapun itu akan memberikan kemungkinan terjadinya efek samping,” jelas Laura.

Akan tetapi, sampai seberapa banyak atau berat itu tergantung dengan respons tubuh individu masing-masing. Oleh karena itu, lanjut Laura, orang yang akan menerima vaksin disarankan dalam kondisi fit. Artinya, cukup tidur dan cukup makan sehingga tidak menimbulkan efek samping yang berat.

“Namanya kalau ada benda asing yang dimasukkan ke dalam tubuh, kemudian tubuh merespons. Kalau responsnya kuat, akan muncul gejala seperti demam, atau mungkin ada bekas suntikan yang membuat linu, kemudian sebabkan ruam merah. Itu hal yang wajar, tapi sifatnya itu sementara hanya satu dua hari,” ucap Laura.

Jika seseorang mengalami efek samping berat dari vaksin, Laura menyarankan agar segera memeriksakan ke fasilitas kesehatan sehingga mendapatkan penanganan yang lebih cepat. Namun, dia mengatakan gejala tersebut harus dikonfirmasi oleh dokter terlebih dahulu untuk memastikan apakah penyebabnya dari vaksin atau yang lain.

“Jadi nggak perlu takut vaksin. Kalo efek sampingnya banyak dan menimbulkan banyak kematian pasti sudah di-stop kan?” kata Laura.

Halaman:

Editor: Aria W. Yudhistira