Advertisement
Advertisement
Analisis | Vonis Koruptor Rendah, Korupsi Mewabah Halaman 2 - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Vonis Koruptor Rendah, Korupsi Mewabah

Foto: Joshua Siringo Ringo/ Ilustrasi/ Katadata
Hukuman terhadap pencoleng uang negara dinilai terlalu ringan, sehingga tidak menimbulkan efek jera pelaku korupsi. Lalu, bagaimana tren putusan hukum kepada para koruptor?
Annissa Mutia
2 September 2021, 20.20
Button AI Summarize

Maraknya kasus korupsi menunjukkan hukuman yang dijatuhkan kepada koruptor nampaknya belum memberikan efek jera. Hal tersebut terbukti dari hasil kajian yang dilakukan oleh ICW dengan memantau vonis-vonis yang dijatuhkan hakim di Pengadilan Tipikor, Pengadilan Tinggi, maupun Mahkamah Agung.

Dalam catatan ICW, mayoritas vonis yang diberikan sangat ringan. Sepanjang 2020, rata-rata vonis terhadap terdakwa perkara korupsi hanya 3 tahun dan 1 bulan (37 bulan). Sebanyak 760 terdakwa divonis di bawah empat tahun penjara pada 2020. Sedangkan vonis berat hanya dikenakan kepada 18 orang terdakwa.

ICW membagi tiga kategori vonis terhadap pencoleng uang negara. Vonis ringan (0 – 4 tahun penjara), sedang (di bawah 10 tahun penjara), dan berat (di atas 10 tahun penjara). Pembagian ini dilakukan dengan dasar subjektivitas kejahatan korupsi yang memiliki dampak sistemik kepada masyarakat, sehingga hal itu mesti dimaknai bahwa pelaku harus dihukum berat.

Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, tuntutan jaksa terhadap hukuman para koruptor memang ada peningkatan sekitar 6 bulan penjara. Namun, vonis yang diberikan kepada terdakwa perkara korupsi masih dikategorikan ringan.

Di sisi lain, dalam pemantauan penuntutan, ICW juga melihat secara spesifik kinerja dua penegak hukum, yakni Kejaksaan dan KPK. Seperti temuan tahun-tahun sebelumnya, tuntutan hukuman pidana kepada koruptor yang diajukan KPK  lebih tinggi dibanding dengan Kejaksaan.

Meski begitu, ada tren penurunan jika dibandingkan dengan 2019. Pada tahun tersebut rata-rata tuntutan KPK mencapai 5 tahun 2 bulan penjara.

Sementara itu, berdasarkan pemantauan vonis-vonis pada setiap tingkatan pengadilan. Rata-rata vonis yang dijatuhkan Mahkamah Agung (MA) kepada koruptor masih lebih tinggi ketimbang Pengadilan Tinggi dan Tipikor. MA rata-rata menjatuhkan hukuman 71 bulan penjara, sementara Pengadilan Tinggi dan Tipikor rata-rata memberikan vonis 44 dan 36 bulan penjara.

Melihat realita tersebut, wajar jika praktik korupsi akan terus menerus terjadi. Vonis ringan seharusnya dianggap sebagai sinyal melemahnya komitmen pengadilan untuk memberantas korupsi. Jika saja korupsi dipandang sebagai kejahatan luar biasa, dengan sendirinya hukuman kepada pelaku mesti pula berat.

 Disparitas Vonis Koruptor

Banyak kalangan yang bertanya-tanya mengapa disparitas masih menjadi isu klasik yang kerap mewarnai pemantauan vonis perkara korupsi. ICW menelaah beberapa penyebabnya. Salah satunya, seringkali tuntutan masih menggunakan pasal yang menguntungkan pelaku korupsi.

ICW dalam laporan “Tren Vonis Korupsi 2020” mengatakan, penegak hukum masih menggunakan pendekatan follow the suspect, ketimbang menerapkan model follow the money. Hal itu terlihat dari minimnya dakwaan yang menggunakan undang-undang anti pencucian uang

Pada fase penuntutan, khususnya perkara yang berkaitan dengan kerugian keuangan negara, baik KPK maupun Kejaksaan, masih menggunakan pasal yang menguntungkan terdakwa.

Menurut ICW, banyak terdakwa korupsi dituntut menggunakan Pasal 2 dan 3 UU Tipikor tentang perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara. Pasal itu dinilai tidak memberikan efek jera, justru regulasi itu membuka peluang terdakwa divonis ringan atau di bawah 4 tahun penjara.

Lebih lanjut ICW memberikan rekomendasi kepada pemerintah dan DPR untuk merevisi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, reformulasi hukuman denda, memaknai ulang definisi uang pengganti, dan penerapan sita jaminan.

Halaman:

Editor: Aria W. Yudhistira