Advertisement
Advertisement
Analisis | Bahaya Lingkungan di Balik Maraknya Belanja Online Halaman 2 - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Bahaya Lingkungan di Balik Maraknya Belanja Online

Foto: Joshua Siringo Ringo/ Ilustrasi/ Katadata
Belanja online semakin berkembang seiring pembatasan aktivitas akibat pandemi Covid-19. Namun sejalan dengan maraknya belanja online, muncul dampak negatif yang membahayakan lingkungan. Mengapa?
Annissa Mutia
17 September 2021, 08.26
Button AI Summarize

Merujuk hasil studi LIPI, aktivitas belanja online masyarakat berbentuk paket selama pandemi meningkat 62% di DKI Jakarta. Paket belanja tersebut 96% paket dibungkus dengan plastik yang tebal dan ditambah dengan bubble wrap. Selotip, bungkus plastik, dan plastik gelembung merupakan pembungkus berbahan plastik yang paling sering ditemukan.  

Sebuah laporan oleh World Wide Fund for Nature (WWF) pada 2020 menemukan bahwa Indonesia adalah salah satu konsumen kemasan plastik terbanyak di Asia berdasarkan data 2016. Konsumsi plastik Indonesia sebanyak 12.5 kg per kapita. 

Berdasarkan komposisinya, sampah plastik di Indonesia sebanyak 17,1% dan mayoritas atau 37% persennya merupakan sampah plastik dalam bentuk karung pengiriman, tas belanja, dan selotip. McKinsey Global Institute memperkirakan peningkatan plastik limbah kemasan meningkat menjadi 7.5 juta ton pada 2030 dari 5.3 ton di 2019.


Dampak lingkungan lainnya adalah jejak karbon atau carboon footprint yang dihasilkan dari pengiriman paket belanja online menggunakan transportasi pesawat, mobil, dan motor. Jejak karbon adalah jumlah total emisi gas rumah kaca yang dihasilkan oleh aktivitas manusia sehari-hari, termasuk karbon dioksida, metana, dinitrogen oksida, gas fluorocarbon, yang dapat menyebabkan pemanasan global.

Seperti dilansir pada situs nature.org, rata-rata jejak karbon per orang secara global adalah mendekati 4 ton per tahun. Sedangkan rata-rata untuk satu orang di Indonesia diperkirakan mencapai 2.5 ton per tahun.  

Sementara itu, Badan Energi Internasional (IEA) melaporkan total emisi karbon dioksida (CO2) mencapai 33,9 gigaton (Gt) sepanjang 2020. Sebanyak 13,5 Gt di antaranya berasal dari listrik dan pemanas, menjadi yang paling banyak dibandingkan sumber lainnya.

Industri menyumbang 8,5 Gt emisi karbon pada tahun lalu, diikuti transportasi sebesar 7,2 Gt. Gedung-gedung juga menghasilkan 2,9 Gt emisi karbon. Sedangkan, sebanyak 1,9 Gt emisi karbon berasal dari sumber-sumber lain.

Dari laporan tersebut, dapat disimpulkan selama pandemi Covid-19 pengiriman belanja online juga berkontribusi terhadap sumber emisi karbon global melalui industri dan transportasi.

Respon E-commerce terhadap Dampak Lingkungan

Aktivis lingkungan yang tergabung dalam gerakan Pawai Bebas Plastik 2021 pada Juli lalu mendorong pelaku usaha e-commerce untuk benar-benar mewujudkan gaya hidup tanpa plastik sekali pakai dan meminimalisasi dampak lingkungan lainnya.

Merespons hal itu, Tokopedia dan Bukalapak mengaku sudah berupaya meminimalkan penggunaan plastik. External Communications Senior Lead Tokopedia Ekhel Chandra Wijaya menjelaskan, Tokopedia merupakan marketplace yang kegiatan pengemasan barang dilakukan oleh mitra penjual (merchant).

Namun, perusahaan tetap berupaya agar mitra menjual produk dengan cara yang ramah lingkungan. Unicorn Tanah Air itu juga mengimbau masyarakat untuk menggunakan ulang kantong plastik atau kardus yang didapat saat memesan produk di e-commmerce

Sementara itu, Lazada kolaborasi bersama Grab untuk inisiatif pertama yang akan mempromosikan pengiriman paket dengan lebih ramah lingkungan pada Maret 2021 lalu. Lazada Logistics, divisi logistik Lazada menyewa sepeda motor listrik dari Grab untuk mengurangi karbon emisi pengiriman barangnya ke konsumen Lazada.

Halaman:

Editor: Aria W. Yudhistira