Advertisement
Advertisement
Analisis | Bahaya Erosi Kepercayaan Publik terhadap Polisi Halaman 2 - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Bahaya Erosi Kepercayaan Publik terhadap Polisi

Foto: Joshua Siringo-ringo/ Ilustrasi/ Katadata
Berbagai kasus yang melibatkan anggota polisi tak hanya berpotensi mencoreng wajah Polri. Kasus-kasus tersebut dapat mengikis kepercayaan publik terhadap penegakan hukum di tanah air. Bagaimana rapor Polri dan penegakan hukum di Indonesia saat ini?
Dimas Jarot Bayu
26 Oktober 2021, 20.15
Button AI Summarize

Pelanggaran kode etik profesi Polri (KEPP) tercatat sebesar 2.081 kasus. Jumlah itu naik 103,8% dibandingkan pada 2019 yang mencapai 1.021 kasus.

Sedangkan, pelanggaran pidana tercatat mencapai 1.024 kasus pada tahun lalu. Angkanya naik 63,3% dibandingkan pada 2019 yang sebesar 627 kasus.

Adapun, sudah terdapat 962 pelanggaran yang dilakukan polisi sepanjang 2021. Rinciannya, 536 pelanggaran disiplin, 279 pelanggaran KEPP, dan 147 pelanggaran pidana.

Direktur Eksekutif Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi menilai banyaknya kasus yang melibatkan anggota Polri dapat membuat kepercayaan publik dan kondisi penegakan hukum di Indonesia makin rendah. Pada saat ini saja, berdasarkan survei Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC), kepercayaan publik terhadap Polri merupakan yang terendah dibandingkan lembaga penegak hukum lainnya.

Jumlah responden yang percaya dengan Polri tercatat sebesar 58%. Sementara, kepercayaan publik terhadap Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan Pengadilan masing-masing sebesar 59%, 60%, dan 61%.

Dalam survei berbeda, SMRC mencatat bahwa responden yang menilai kondisi penegakan hukum buruk mencapai 24,8%. Angkanya meningkat dari September 2019 yang hanya sebesar 15,1%.

“Kepercayaan publik yang menurun itu efek dari beragam keluhan terhadap Polri yang selama ini tidak terselesaikan dengan baik, tidak direspons dengan tuntas,” kata Khairul ketika dihubungi Katadata.co.id pada Senin, 25 Oktober 2021. 

Khairul mengatakan, menurunnya kepercayaan publik terhadap Polri berpotensi membuat vigilantisme atau aksi main hakim sendiri semakin marak di tengah masyarakat. Vigilantisme adalah situasi ketika orang-orang mengambil peran penegak hukum tanpa diberikan kewenangan legal dan pertimbangan apakah aksinya berbasis keadilan atau tidak.

Dalam penelitian Daniel Jordan Smith (2004), vigilantisme merupakan respons umum masyarakat atas ketidakpuasan terhadap kinerja pemerintah atau penegak hukum. Mereka pun menghukum individu yang melakukan tindak kriminal atau melanggar norma.

Vigilantisme bukanlah barang baru di Indonesia. Pemerintah melalui Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan (SPNK) pernah mencatat 4.716 insiden main hakim sendiri sepanjang Januari 2014-Januari 2015. Berbagai insiden tersebut telah membuat 319 orang tewas, 5.764 orang cedera, dan 287 bangunan rusak.

“Main hakin sendiri itu akan banyak terjadi kalau tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Polri menurun. Yang kami khawatirkan akan terjadi seperti itu dan itu bukan belum pernah terjadi,” kata dia.

Atas dasar itu, dia menyarankan Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo segera melakukan pembenahan di internal Korps Bhayangkara. Pembenahan tersebut harus bersifat sistemik sehingga menyasar kepada seluruh anggota Polri.

Listyo sendiri telah memerintahkan para pimpinan satuan memproses anggota yang melanggar aturan, baik berupa pemberhentian maupun proses pidana. Menurutnya, perbuatan anggota Polri yang tak taat aturan merusak marwah dan mencederai kerja keras Korpos Bhayangkara selama ini.

Dia juga mendorong jajarannya tak anti terhadap kritik masyarakat. Menurutnya, Polri adalah lembaga yang terbuka. Kritik dari masyarakat akan menjadi bahan evaluasi demi kebaikan dan kemajuan Polri.

“Jangan antikritik. Apabila ada kritik dari masyarakat, lakukan introspeksi untuk menjadi lebih baik,” kata Listyo.

Halaman:

Editor: Aria W. Yudhistira