Advertisement
Advertisement
Analisis | “Layangan Putus” Potret Penyebab Perceraian di Indonesia Halaman 2 - Analisis Data Katadata
ANALISIS

“Layangan Putus” Potret Penyebab Perceraian di Indonesia

Foto: Joshua Siringo-ringo/ Ilustrasi/ Katadata
Jumlah perceraian di Indonesia cenderung tinggi, mencapai 291.677 kasus pada 2020. Ada beragam penyebab, salah satunya karena perselisihan akibat perselingkuhan seperti yang digambarkan dalam film serial "Layangan Putus".
Cindy Mutia Annur
28 Januari 2022, 11.45
Button AI Summarize

Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Imam Nahe’i mengatakan, faktor ini dapat terjadi karena adanya perselingkuhan. “Ketidaksetiaan terhadap pasangan baik pada salah satu pasangan atau keduanya. Inilah juga yang menyebabkan keluarga tidak harmonis,” ujar dia.

Perselingkuhan antara Aris dan Lidya dalam serial “Layangan Putus” menimbulkan perselisihan pada kondisi rumah tangga Aris dan Kinan. Alhasil, Kinan berupaya dengan berbagai cara untuk menggugat cerai karena tak tahan dengan perlakuan suaminya itu.

Di tanah air, istri memang lebih banyak menggugat cerai ketimbang suami. Laporan Statistik Indonesia 2021 menunjukkan, persentase cerai gugat oleh perempuan mencapai 73,70% pada 2020.

Tren tersebut, menurut Nahe’i, menunjukkan semakin banyak perempuan yang berani mengambil risiko untuk melakukan perceraian. “Artinya, ada kesadaran penuh perempuan untuk berpisah dengan suaminya ketika situasi keluarga tak memungkinkan lagi dipertahankan,” ujar Nahe’i.

Sebab, lebih lanjut dia mengatakan, selama ini cara pandang patriarki di Indonesia kerap menyalahkan istri ketika hendak menggugat cerai suaminya. Perubahan ini mengindikasikan bahwa kesadaran perempuan di tengah budaya stereotip tersebut sudah semakin baik berkat pendidikan dan penguatan gender dalam beberapa tahun terakhir.

Terjadi KDRT

Data Komnas Perempuan menunjukkan, terdapat 6.480 laporan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di ranah personal pada 2020. Kekerasan terhadap istri merupakan yang dominan yakni sebanyak 3.221 laporan atau 49,7% dari keseluruhan kasus.

Berdasarkan provinsi, laporan BPS menunjukkan, Jawa Barat merupakan provinsi terbanyak yang menerima laporan KDRT pada 2018. Jumlahnya mencapai 1.459 kasus.  Lalu Jawa Timur menyusul dengan 1.455 kasus. 

 Poligami

Berdasarkan statistik yang disusun BPS menunjukkan bahwa poligami menduduki urutan kedelapan faktor penyebab perceraian di Indonesia pada 2020. Persentasenya mencapai 0,3% dari total penyebab perceraian.

Poligami, kata Nahe’I, berpotensi merugikan perempuan. Berdasarkan kajian Komnas, 70% praktik poligami di Indonesia bermasalah dan dilakukan secara sembunyi-sembunyi, secara tidak adil, dan menyakiti keluarga terutama istri. “Sehingga, poligami seperti ini berpotensi menghancurkan perkawinan,” ujar Nahe’i.

Nahe’i mengatakan, selama ini poligami dijadikan alasan bagi laki-laki karena seakan-akan berlandaskan anjuran agama Islam.

Dampak Perceraian Terhadap Anak

Perceraian memang dapat menimbulkan traumatis bagi pasangan maupun keluarga. Namun kadang kala, perceraian dapat menjadi jalan keluar yang terbaik bagi kedua pihak. Apalagi jika kerap terjadi konflik yang berpotensi menyebabkan banyak persoalan di kemudian hari. “Ragam penyebab (perceraian) ini seperti akar serabut, sehingga ketidakharmonisan yang terus-menerus tentu dapat memicu perceraian,” ujar Nahe’i.

Salah satu yang kerap dipertimbangkan oleh pasangan yang berencana cerai adalah anak. Kendati begitu, menurut Jovita, ada sisi positif dan negatif perceraian terhadap psikologis anak.

Dari sisi positif, dia menjelaskan, perceraian dapat membuat anak menjadi mandiri dan lebih menerima kegagalan. Hal ini dapat memberikannya pelajaran berharga. Namun, hal ini juga tergantung pada bagaimana pengasuhan kedua orang tuanya dan dukungan lingkungan sekitar terhadap anak.

“Sang anak harus tetap memiliki tempat untuk mengisi kekosongannya. Ada tempat untuk mengobrol dan curhat, tetap bisa punya hobi, dan segala kebutuhannya tetap difasilitasi oleh orang di sekitarnya,” ujar Jovita.

Sedangkan sisi negatifnya, perceraian bisa menimbulkan dua jenis luka psikologis anak. Luka yang tampak dan tidak tampak. Pada luka yang terlihat, perceraian dapat membuat anak mengalami trauma, depresi, perasaan malu, tidak ingin bersosialisasi, hingga membuat nilai akademiknya menurun.

Sementara, ia melanjutkan, luka yang tidak tertunjukkan pada umumnya berupa perasaan sakit hati yang terus dipendam secara berkepanjangan oleh anak.

Dia mencontohkan, anak dapat terlihat normal dari segi sosial maupun akademis. Namun, sebenarnya anak itu menyimpan trauma yang tak ingin dia tunjukkan ke orang lain. “Imbasnya, dia akan membawa perasaaan (trauma) itu ke dalam perjalanan hidupnya sehingga takut untuk menjalani hubungan secara intim terhadap lawan jenisnya,” ujarnya.

Jovita mengatakan, pada dasarnya, daya lenting tiap anak berbeda-beda, termasuk bagaimana peristiwa perceraian yang dialami orang tua berimbas pada kehidupannya. Maka dari itu, menurut dia, penting bagi kedua orang tua agar tetap memperhatikan pengasuhan anak secara utuh meskipun sudah tak hidup bersama.

“Orang tua tetap harus menjalin komunikasi yang baik dan mengisi kekosongan yang dialami anak. Sehingga, dengan proses pendampingan yang tepat pada anak yang (orang tuanya) mengalami perceraian dapat membuat daya lenting anak lebih kuat pula” ujar Jovita.

Halaman:

Editor: Aria W. Yudhistira