Advertisement
Advertisement
Analisis | Menghadapi Ancaman “Zombie Unicorn” di Indonesia Halaman 2 - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Menghadapi Ancaman “Zombie Unicorn” di Indonesia

Foto: Joshua Siringo ringo/ Ilustrasi/ Katadata
Fenomena Zombie Unicorn mirip dengan pecahnya gelembung dot com pada awal 2000-an yang menyebabkan harga saham-saham internet berjatuhan. Perusahaan teknologi atau startup perlu memperkuat fundamentalnya, karena tidak bisa lagi hanya menjual pertumbuhan dan prospek bisnis ke depan.
Reza Pahlevi
9 Juni 2022, 08.07
Button AI Summarize

Wawan Hendrayana, Vice President Infovesta Utama, mengatakan saham-saham teknologi Indonesia saat ini memang hanya menjual pertumbuhan atau prospek bisnis ke depan. Sementara, fundamental perusahaannya masih merugi atau mencatatkan laba yang kecil.

“Akibatnya, valuasi secara konvensional luar biasa mahal,” kata Wawan kepada Katadata.co.id, Selasa (24/5).

Karakteristik perusahaan yang menjual prospek bisnis ke depan itu pula yang membuat saham teknologi Indonesia saat ini berjatuhan. Wawan mengatakan, para investor lebih memilih sektor riil dan komoditas yang lebih pasti di tengah konflik geopolitik Rusia-Ukraina dan pemulihan ekonomi.

Beberapa waktu lalu, Managing Partner East Ventures Roderick Purwana memperkirakan efek penurunan saham teknologi AS ke Indonesia akan lebih terjaga. Ini mengingat pertumbuhan ekonomi kuartal I yang mencapai 5,01% secara tahunan.

Meski begitu, Roderick beranggapan tetap akan ada perubahan bagi startup Indonesia terutama dalam pola pendanaan dan valuasi. Dia berpendapat investor tetap akan mencari startup yang berkualitas tetapi akan ada penyesuaian untuk valuasi investasi.

Startup Kencangkan Ikat Pinggang

Anjloknya saham perusahaan-perusahaan teknologi turut membuat modal ventura (venture capital) yang biasanya berkelimpahan uang perlu mengurangi investasinya. 

Y Combinator, investor awal Reddit, Airbnb, dan Dropbox, sempat mengirim memo kepada startup-startup dalam portofolionya pada Kamis 19 Mei. Dalam memo tersebut, Y Combinator menyebut tidak akan ada pendanaan selama 24 bulan ke depan.

Selain itu, Y Combinator juga menyarankan startup untuk mengambil strategi selain mencari pendanaan baru dalam 6-12 bulan ke depan. Ini karena pendanaan dalam periode ini diperkirakan hanya akan mendatangkan valuasi yang kecil. (INFOGRAFIK: Bisnis Startup Diguncang “Bubble Burst”)

Mengutip data CB Insights, pendanaan modal ventura diperkirakan akan susut 19% secara kuartalan (quarter-on-quarter/qoq) pada kuartal II-2022. Penyusutan pendanaan ini terjadi setelah pendanaan yang juga susut 20% (qoq) pada kuartal I-2022.

Penyusutan pendanaan ini pun membuat CB Insights memperkirakan jumlah startup baru hanya sebanyak 62 startup pada kuartal II-2022. Ini pertama kalinya kemunculan startup baru kurang dari 100 startup sejak 2020.

Di Asia, penyusutan pendanaan diperkirakan lebih dalam lagi pada kuartal II-2022. CB Insights memperkirakan pendanaan startup di Asia akan anjlok 31% (qoq) menjadi US$ 25,4 miliar dari sebelumnya US$ 36,6 miliar.

Pendanaan ini dapat berdampak ke beberapa hal seperti penundaan ekspansi, penghentian perekrutan karyawan baru, hingga yang terburuk PHK massal. Di AS, Facebook dan Twitter menghentikan perekrutan karyawan baru sementara Netflix dan Robinhood melakukan PHK massal. (INFOGRAFIK: Badai PHK Menerpa Startup Indonesia)

Di Indonesia, startup edutech Zenius baru saja mengumumkan telah mem-PHK lebih dari 200 karyawan pada Selasa 24 Mei. Di hari yang sama, LinkAja melakukan hal yang sama dengan alasan efisiensi sumber daya manusia (SDM).

Halaman:

Editor: Aria W. Yudhistira