Advertisement
Advertisement
Analisis | Mengapa Dampak Krisis Ekonomi Lebih Parah di Pulau Jawa? Halaman 2 - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Mengapa Dampak Krisis Ekonomi Lebih Parah di Pulau Jawa?

Foto: Joshua Siringo-ringo/ Ilustrasi/ Katadata
Data pertumbuhan ekonomi daerah terkini menunjukkan perekonomian di Pulau Jawa lebih rentan ketika terjadi krisis ekonomi global. Apa penyebabnya?
Reza Pahlevi
24 Oktober 2022, 07.25
Button AI Summarize

Sementara, provinsi di luar Jawa umumnya lebih banyak bergantung pada sektor pertanian serta pertambangan. Harga komoditas sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan ekonomi daerah-daerah tersebut.

 

Lesunya Perdagangan Komoditas Picu Krisis 2015

Periode krisis selanjutnya tidak terjadi langsung dalam setahun. Krisis kali ini terjadi ketika pertumbuhan ekonomi Indonesia melambat setiap tahunnya mulai dari 2012 hingga titik terendahnya pada 2015.

Ada beberapa faktor yang membuat krisis ini terjadi. Pertama, defisit neraca perdagangan yang melemahkan rupiah pada 2012. Kedua, taper tantrum bank sentral AS The Fed mulai 2013 yang semakin melemahkan rupiah. Ketiga, lesunya harga komoditas pada 2014.

Awalnya, efek pelemahan rupiah akibat defisit neraca perdagangan masih dapat ditahan. Pelemahan rupiah mulai parah ketika the Fed melakukan tapering off pada 2013. Kondisi ini pun diperparah ketika ledakan harga komoditas berhenti dan melesu pada 2014.

Efek komoditas ini pun terlihat dari kontraksi ekonomi provinsi-provinsi penghasil komoditas pada 2014 dan semakin mendalam pada 2015. 

Ekonomi Aceh, yang komoditas ekspor utamanya adalah gas alam, terkontraksi -2,6% pada 2015. Hal yang sama terjadi dengan Riau yang terkontraksi -2,24%, dan Kalimantan Timur yang terkontraksi -3,37%. Komoditas ekspor utama Riau adalah minyak sawit dan migas sementara Kalimantan Timur mengekspor batu bara.

 

“Beban pertumbuhan ekonomi nasional justru datang dari luar Jawa yang sangat bergantung dengan industri ekstraktif dan pengolahan komoditas,” tulis laporan Economist Intelligence Unit pada 2015.

Laporan yang sama menyebut krisis ini tidak begitu dirasakan di Jawa karena karakteristiknya. Jawa dinilai lebih memiliki ekonomi yang lebih terdiversifikasi daripada provinsi-provinsi yang sumber ekonominya lebih terpusat.

Bagaimana Proyeksi Tahun Depan?

Direktur CELIOS Bhima Yudhistira menyamakan krisis tahun depan dengan 1970-an karena faktor penyebabnya di berbagai lini. Saat itu, negara mulai merasakan krisis minyak, pecah Perang Teluk, dan hiperinflasi di berbagai negara.

“Kalau skenario krisis 1970 yang terjadi efeknya bisa lebih berisiko bagi perekonomian domestik dibanding 1997 dan 2008,” katanya kepada Katadata.co.id.

Meski begitu, ekonomi Indonesia dinilai banyak lembaga internasional tetap akan tumbuh pada 2023. Salah satunya adalah Asian Development Bank (ADB) yang memprediksi ekonomi Indonesia tumbuh 5% tahun depan.

“Pengeluaran konsumen kuat dan ekspor komoditas meroket meski tingginya harga komoditas juga memicu inflasi,” kata Direktur ADB untuk Indonesia Jiro Tominaga dalam keterangan resmi pada September 2022.

Hingga saat ini, kuatnya permintaan konsumen masih dapat menahan rendahnya pengeluaran pemerintah. Permintaan untuk ekspor komoditas pun sehat, mendukung pertumbuhan dan menghasilkan pendapatan tak terduga (windfall revenue).

Permintaan komoditas yang tetap tinggi ini pun akan menguntungkan daerah-daerah dengan penghasilan utama dari ekspor komoditas. Sementara, daerah-daerah tanpa komoditas ekspor utama akan bergantung dengan pengeluaran konsumen yang diharapkan dapat terjaga pada 2023.

Halaman:

Editor: Aria W. Yudhistira