Advertisement
Advertisement
Analisis | Pidato Megawati 2019-2023: Apa Topik yang Dibahas dan yang Tak Disinggung? Halaman 2 - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Pidato Megawati 2019-2023: Apa Topik yang Dibahas dan yang Tak Disinggung?

Foto: Joshua Siringo ringo/ Ilustrasi/ Katadata
Tak ada tokoh kuat dan punya kekuasaan sebesar Megawati Soekarnoputri di Indonesia. Dia memimpin PDIP, partai politik terbesar saat ini, yang bahkan menyebut Presiden Joko Widodo sebagai “petugas partai”. Katadata menganalisis 10 pidato mantan presiden ke-5 ini selama kurun 2019-2023. Total durasinya sepanjang 583 menit. Analisis ini untuk mengetahui: apa yang dibicarakan Megawati, dan mengapa itu dibicarakan?
Andrea Lidwina
20 Maret 2023, 16.11
Button AI Summarize

“Memangnya tidak punya kader sendiri?” tanya Megawati di HUT PDI Perjuangan ke-50.

Isu Perempuan, Kekuasaan, dan Narsisme

Jika mendengarkan pidato-pidatonya, Megawati tampak memiliki cita-cita mulia bagi perempuan Indonesia. Dia tidak menginginkan diskriminasi terhadap perempuan, termasuk di bidang politik dalam mengisi kursi legislatif maupun eksekutif.

Namun pandangan Megawati terhadap isu-isu ini lahir dari posisi, pengalaman, dan pencapaiannya sendiri. Dia tidak menghitung status dan hak istimewa yang diperolehnya sebagai bagian dari trah elite di negara ini. Dia juga tidak mempertimbangkan adanya perbedaan kondisi dan kelas di masyarakat, yang membuat perempuan lain sulit menggapai posisi yang telah diraih Megawati. 

Dalam pidatonya, Megawati sering meminta perempuan di Indonesia menjadikan dirinya sebagai panutan. Dia menempatkan dirinya sebagai gambaran perempuan maju dalam konteks nasional.

“Ibu-ibu, please, tolong, kaum perempuan itu, contoh saya. Seorang perempuan bisa jadi presiden, wakil presiden, tiga kali DPR, ketua umum partai sampai sekarang, apalagi coba dong? Kalian pun bisa!” kata Megawati di Sarasehan “Indonesia Muda Membaca Bung Karno” pada 29 Juni 2021.

Megawati juga beberapa kali mengomentari kebiasaan ibu-ibu di Indonesia yang tidak sesuai dengan kebiasaannya. Misalnya, dia berpendapat perempuan sekarang lebih suka berdandan ketimbang mengurus anak mereka. Akibatnya, banyak anak yang masih mengalami stunting.

Padahal semasa menjadi presiden, Megawati mengatakan tetap meladeni suami dan memasak untuk anak-anaknya. Karena itu, anak dan cucu Megawati tumbuh “keren-keren, ganteng, cantik,” ucapnya di HUT PDI Perjuangan ke-50.

Kemudian, di acara Kick Off BKKBN, Megawati menyinggung ibu-ibu yang suka ikut pengajian dengan narasi serupa di atas. “Maaf beribu maaf, ini pengajian sampai kapan, anaknya mau diapakan?” tanya Megawati.

Chusnul Mar’iyah, pengajar ilmu politik Universitas Indonesia, mengatakan Megawati kurang berempati terhadap isu perempuan. Menurutnya, ini mungkin lantaran Megawati tinggal di lingkungan Istana Negara sedari kecil, seperti dikutip dari acara “Perempuan Bicara” di tvOne pada 24 Februari 2023.

Topik perempuan dalam pidato-pidato Megawati pun tak bisa dipisahkan dari sifat narsisme. Megawati kerap memuji dirinya sendiri berdasarkan kekuasaan dan kekuatan yang dia miliki serta pencapaian dirinya—hal sama yang mendasari cita-cita Megawati bagi perempuan Indonesia.

Rosenthal dan Pittinsky (2006) dalam “Narcissistic leadership” di jurnal The Leadership Quarterly mengatakan, narsisme seorang pemimpin lahir dari sifat percaya diri. Selain itu, narsisme juga umumnya dimotivasi kebutuhan akan kekuasaan dan kekaguman dari pihak lain. 

“Kalau aku mau selfie, pasti pengikutku banyak. Karena satu, perempuan; dua, cantik; tiga, karismatik; empat, pintar. Aku ini jadi profesor saja dua, doktor honoris causa sembilan, ini saja masih menunggu lagi lima karena pandemi,” kata Megawati di HUT PDI Perjuangan ke-50.

Menurut Rosenthal dan Pittinsky, salah satu sisi buruk seorang pemimpin yang narsis adalah kurangnya empati. Mereka tidak mampu memahami masalah dari sudut pandang orang lain, sehingga mengambil keputusan yang berpusat pada dirinya sendiri dan mengabaikan hal-hal yang bertentangan dengan itu.

Dalam sejumlah pidato Megawati akhir-akhir ini, topik perempuan dan narsisme porsinya meningkat. Persentase yang biasanya di bawah 10% dari total durasi pidato pada 2019-2022 berubah menjadi lebih dari 20% total durasi pidatonya pada awal 2023.

Yang tidak Dibicarakan Megawati

Dalam sekali berpidato, Megawati biasanya berbicara sepanjang 30-60 menit tanpa jeda, meski ada yang hampir 120 menit. Namun dari 10 pidato yang kami analisis, ada sejumlah hal yang tidak pernah dibahas Megawati.  

Pertama, sikap politik Megawati sendiri. Politik memang jadi perhatian utama Megawati, tetapi dia masih lebih banyak memaparkan pemikiran dan kebijakan Sukarno, daripada menjelaskan pemikiran dan perspektifnya sendiri. 

Di HUT PDI Perjuangan ke-49, Megawati bercerita bagaimana dia disambut baik oleh masyarakat di Jawa Tengah ketika baru menjadi anggota DPR. Megawati melanjutkan, ini lantaran dia putri Sukarno dan masyarakat tersebut pendukung Partai Nasional Indonesia (PNI), partai yang didirikan ayahnya.

Namun, sambutan baik itu bukan karena program dan kebijakan politik Megawati yang berpihak pada kelompok masyarakat tersebut.

Dalam pandangan Coles, klaim Megawati sebagai anak ideologis Sukarno justru membuat pemikiran dan kebijakan sang ayah menjadi sikap politik Megawati.

“Alih-alih mengartikulasikan sikap politiknya terhadap isu-isu penting, Megawati menggunakan cerita masa kecilnya untuk menempatkan isu-isu itu sebagai kewajiban ayahnya, lalu menggambarkan dirinya sebagai putri berbakti yang akan melaksanakan perintahnya,” tulis Coles.

Kedua, pernyataan-pernyataan Megawati tidak berbasis data. Misalnya, di Rakernas II PDI Perjuangan, Megawati mengatakan “ibunya yang mesti dicereweti” saat membahas masalah stunting di Indonesia. 

Padahal, melansir situs Kementerian Kesehatan, stunting tidak hanya disebabkan dari faktor ibu, tetapi juga kemiskinan, pengaruh budaya, dan penyakit bawaan.

Menurut Chusnul Mar’iyah, sebagai Ketua Dewan Pengarah BRIN, Megawati harusnya dapat memberi argumen berdasarkan data, hasil riset, dan referensi yang tepat. Dengan begitu, apa yang dia sampaikan bukan sekadar klaim sepihak dan sebatas pengalaman dirinya.

Ketiga, dari 10 pidato yang kami analisis, Megawati tak pernah membicarakan topik ekonomi. Dia hanya sempat membahas, sekaligus mengkritik pemerintah mengenai harga barang yang selalu naik, terutama minyak goreng.

“Kok klasik amat ya? Tujuh puluh enam tahun merdeka lho, masa sih begitu saja, di mana ya salahnya?” tanya Megawati di HUT PDI Perjuangan ke-49.

Namun, Megawati tak pernah membicarakan soal resesi ekonomi dan ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) saat pandemi Covid-19. Begitu pula dengan tantangan ekonomi global pada 2023, seperti krisis beberapa komoditas dan bahan pangan.

Dia juga tidak menyentuh topik ekonomi yang berkaitan erat dengan wong cilik dan “rakyat sendal jepit,” yang justru diwakili partainya. Masalah kemiskinan struktural dan kesenjangan ekonomi tidak menjadi perhatian utama Megawati dalam pidato-pidatonya.

Halaman:

Editor: Aria W. Yudhistira