Advertisement
Advertisement
Analisis | Mengapa Orang Indonesia Tak Pernah Meraih Hadiah Nobel? Halaman 2 - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Mengapa Orang Indonesia Tak Pernah Meraih Hadiah Nobel?

Foto: Joshua Siringo ringo/ Ilustrasi/ Katadata
Sebagai salah satu negara dengan populasi terbesar, belum ada satupun orang atau organisasi asal Indonesia yang memperoleh hadiah Nobel. Sejarawan Peter Carey menyebutkan, sekurangnya ada dua orang Indonesia yang sempat berpotensi menerima Nobel: sastrawan Pramoedya Ananta Toer yang melahirkan tetralogi Buru dan mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang mendorong perdamaian di Aceh.
Andrea Lidwina
20 Mei 2023, 09.15
Button AI Summarize

Indonesia pun melahirkan bahasa Indonesia. Bahkan, menurut Anderson, bahasa Indonesia jadi satu-satunya bahasa nasional yang dicapai tanpa penolakan dan menjadi bahasa perantara masyarakat.

Namun, nasionalisasi bahasa membuat Asia Tenggara tidak memiliki “sekutu yang energik di Eropa, di belahan bumi Barat, atau bahkan di dunia Islam.” Bahasa-bahasa nasional di kawasan ini juga tak punya “aura transnasional.”

Karena itu, dengan posisi dan daya tawar bahasa Indonesia yang lemah, Carey menyarakan penduduk tanah air harus bilingual atau mampu memakai dua bahasa dengan baik. Pertama, bahasa Indonesia. Kedua, bahasa yang digunakan secara global, seperti bahasa Inggris.

Berdasarkan Indeks Kecakapan Bahasa Inggris (English Proficiency Index/EPI) dari EF, Indonesia punya skor 469 pada 2022. Nilai itu cuma menempatkan Indonesia pada peringkat 81 dari total 111 negara dalam indeks tersebut. Di Asia, Indonesia berada di peringkat 15 dari total 24 negara yang dinilai.

EF menggolongkan penguasaan bahasa Inggris di Indonesia tersebut ke dalam kategori lemah. Artinya, ini menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan agar Indonesia dapat mendunia.

Memosisikan Indonesia di Panggung Global

Selain bahasa, soft power bisa diperoleh dengan membuat suatu negara lebih dikenal penduduk dunia dari berbagai aspek. Misalnya, Korea Selatan (Korsel) mengenalkan negaranya melalui produk industri budaya, seperti K-pop dan K-drama. Upaya ini digagas dan didukung pemerintah Korsel sendiri sejak 1990-an.

Alih-alih membuat peta jalan (roadmap) untuk mempromosikan budayanya seperti Korsel, Indonesia malah menjadi target sasaran atau pasar dari produk industri budaya Korsel sendiri. Karena itu, tidak heran jika Carey mengatakan “tak ada upaya untuk membuat Indonesia lebih diketahui di luar negeri.”

Salah satu upaya sebetulnya muncul dengan menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 pada Mei-Juni 2023. Namun, penolakan terhadap Timnas Israel menyirnakan kesempatan emas tersebut.

Carey juga mencontohkan, tidak ada institusi pendidikan tinggi di Indonesia yang masuk dalam daftar 200 besar dunia. Ini menunjukkan kualitas pengajaran dan penelitian di dalam negeri masih rendah, sekaligus menghambat reputasi Indonesia di bidang akademik. 

Berdasarkan daftar QS World University Rankings, universitas terbaik dunia memang masih didominasi Inggris dan Amerika Serikat pada 2023. Namun, Singapura berhasil mencatatkan National University of Singapore (NUS) pada posisi ke-11 dan Nanyang Technological University (NTU) pada posisi ke-19.

Sedangkan, peringkat tertinggi bagi universitas asal Indonesia adalah peringkat 231 bagi Universitas Gadjah Mada (UGM). Kemudian, Institut Teknologi Bandung (ITB) ada di peringkat 235 dan Universitas Indonesia (UI) di peringkat 248.

Selanjutnya, kiprah para diaspora dan pekerja migran bisa menempatkan Indonesia di panggung dunia. Misalnya, dua ilmuwan Indonesia Carina Joe dan Indra Rudiansyah yang terlibat dalam penelitian dan pembuatan vaksin Covid-19 AstraZeneca, yang digagas oleh University of Oxford.

Keterlibatan keduanya turut mengenalkan kapasitas dan potensi sumber daya manusia asal Indonesia di dunia akademik internasional. Prestasi semacam ini sebetulnya terus dibutuhkan untuk mendukung tumbuhnya soft power tersebut.

Sebagai gambaran, data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menunjukkan jumlah migran dari Indonesia yang menetap di luar negeri sebanyak 4,6 juta orang pada 2020. Namun, data itu tidak merinci kegiatan atau pekerjaan para migran tersebut.

Sayangnya, pemerintah Indonesia biasanya menuntut mereka untuk pulang dan berkontribusi di tanah air. Menurut kandidat doktor Antropologi Sosial UV Amsterdam Pamungkas Dewanto dalam tulisannya di The Conversation (2022), tuntutan itu menganggap kontribusi seseorang ditentukan berdasarkan di mana ia hadir atau berada.

Padahal, kemajuan teknologi hari ini telah menghapus hambatan dalam bentuk batas-batas teritorial. Dengan begitu, kontribusi dan manfaat dari para diaspora di mana pun mereka berada tetap bisa dirasakan masyarakat Indonesia.

Memiliki soft power memang tidak serta-merta akan membuat Indonesia memperoleh penghargaan Nobel. Baik Carey maupun Anderson mengakui pemberian Nobel seringkali politis. Tergantung kondisi politik, tergantung kondisi zaman.

Tak hanya itu, Carey mengatakan banyak hal dalam dunia akademik di Indonesia yang harus diperbaiki agar bisa memenangkan Nobel. Misalnya, gaji dosen rendah, absennya budaya tinjauan sejawat (peer review) yang mumpuni, dan tidak adanya cuti panjang (sabbatical leave) untuk riset mandiri.

Ketiganya turut berkontribusi atas tidak tumbuhnya kultur ilmiah dalam dunia akademik tanah air.

Namun, dengan memiliki soft power, Indonesia bakal dipandang dan diperhitungkan, bahkan mungkin didukung oleh negara-negara lain. Profil Indonesia di panggung global pada masa mendatang pun bisa berubah menjadi tidak hanya big zero, seperti yang ada di layar presentasi Peter Carey.

Halaman:

Editor: Aria W. Yudhistira