Advertisement
Advertisement
Analisis | Daya Tarik Caleg Artis di Panggung Politik Indonesia Halaman 2 - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Daya Tarik Caleg Artis di Panggung Politik Indonesia

Foto: Joshua Siringo ringo/ Ilustrasi/ Katadata
Sejumlah partai politik menggaet para artis sebagai bakal calon legislatif (bacaleg) untuk Pemilu 2024. Kehadiran figur publik tersebut dinilai jadi daya tarik pemilih untuk mencoblos partai politik. Apakah para artis dapat juga memberikan warna baru di panggung politik kita?
Andrea Lidwina
25 Mei 2023, 10.57
Button AI Summarize

Andrew Weintraub dalam bukunya Dangdut Stories: A Social and Musical History of Indonesia’s Most Popular Music (2010) berpendapat keberhasilan Rhoma menggaet massa—dan akhirnya suara dalam pemilu—tak lepas dari musik dangdut yang dibawakannya.

Menurut Weintraub, dangdut umumnya diasosiasikan sebagai musik rakyat. Lirik lagu-lagunya dinilai mewakili “aspirasi dan keinginan” mayoritas penduduk Indonesia. Lirik-lirik itu “sederhana, mudah dipahami, dan memanfaatkan situasi sehari-hari yang dekat dengan audiens.”

Namun, musik dangdut nyatanya tidak sesederhana itu. Dalam sebuah wawancara, seperti dilansir dari buku tersebut, Rhoma menggunakan dangdut untuk membentuk gagasan politik dan moral rakyat.

“Jika kita ingin merah, mereka (rakyat) akan jadi merah. Jika kita ingin putih, mereka akan jadi putih. Untuk itu, kita perlu menyelaraskan lirik, rasa, dan penampilan agar tujuan kita tercapai,” kata Rhoma.

Rhoma adalah tokoh sentral dalam sejarah dangdut di Indonesia. Dia seolah perpanjangan tangan masyarakat—menyampaikan aspirasi khalayak luas melalui lagu-lagunya—yang muncul di tengah ketidakberpihakkan pemerintah Orde Baru.

Selain itu, Rhoma yang kerap tampil sebagai pemeran utama dalam film-filmya selalu digambarkan sebagai pahlawan. Hal ini membuat beberapa penggemar “merasa berdaya (empowered)” atas sosok hero tersebut.

Dengan kepiawaian meracik dan menampilkan musik dangdut, ditambah persona sebagai pahlawan, Rhoma berhasil menarik perhatian dan simpati masyarakat kala itu. Sang raja dangdut lantas menjadi mesin pencetak suara bagi partai politik.

Kasus Rhoma Irama di atas menunjukkan popularitas saja tidak cukup untuk membuat artis dan figur publik punya jalan mulus ke parlemen. Mereka membutuhkan ikatan dan hubungan yang dekat dengan masyarakat agar mendapat dukungan sepenuhnya.

Pencalonan para artis secara instan tak jarang melahirkan cara-cara yang praktis pula. Pengamat politik Universitas Al-Azhar Indonesia Ujang Komarudin mengatakan mungkin para artis terpilih jadi anggota DPR karena bisa mengimbangi popularitas mereka dengan politik uang.

Bagaimana Kiprah Artis Anggota DPR di Parlemen?

Meski popularitas tidak selamanya menjamin langkah artis dan figur publik menuju Senayan, sejumlah orang dari kalangan itu nyatanya berhasil duduk di sana, bahkan lebih dari satu periode. Merujuk situs DPR, mayoritas artis di parlemen pada 2019-2024 hanya menjabat sebagai anggota di komisi masing-masing.

Rinciannya, Nico Siahaan, Nurul Arifin, Rachel Mariam, dan Muhammad Farhan di Komisi I. Eko Patrio, Tommy Kurniawan, Mulan Jameela, dan Rieke Diah Pitaloka di Komisi VI. Arzeti Bilbina dan Kris Dayanti ada di Komisi IX, kemudian Primus Yustisio ada di Komisi XI.

Harvey Malaiholo yang baru masuk melalui mekanisme penggantian antarwaktu (PAW) juga menjabat sebagai anggota di Komisi V. Rano Karno dan Desy Ratnasari bertugas sebagai anggota di Komisi X, sementara Dede Yusuf menjadi satu-satunya artis yang menjadi wakil ketua di komisi tersebut.

Artinya, para artis di DPR belum memiliki kapasitas atau diberi kepercayaan untuk memimpin sebuah komisi. Jabatan anggota komisi pun bisa menjadi ajang belajar bagi para artis sebagai wakil rakyat.

Sejalan dengan itu, melansir BBC Indonesia, pengamat politik dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) Lucius Karus mengatakan kinerja para artis dan figur publik kurang memuaskan, baik dalam menyampaikan gagasan maupun dalam kerja-kerja legislasi.

Berdasarkan catatan kami, secara keseluruhan, sebanyak 20 RUU dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) disahkan DPR menjadi undang-undang sepanjang 2020 hingga April 2023. Jumlah itu lebih sedikit ketimbang periode 2015-2019 yang sebanyak 34 RUU Prolegnas.

“Jadi, tidak bisa dikatakan ada dampak positif yang mereka bisa tunjukkan di parlemen setelah menjadi anggota DPR,” kata Lucius.

Halaman:

Editor: Aria W. Yudhistira