Advertisement
Advertisement
Analisis | Penjara, Sanksi atau Surganya Korban Narkoba? Halaman 2 - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Penjara, Sanksi atau Surganya Korban Narkoba?

Foto: Joshua Siringo ringo/ Ilustrasi/ Katadata
Aktor Tio Pakusadewo buka-bukaan tentang pengalamannya sebagai narapidana kasus narkotika. Di balik jeruji hotel prodeo, bandar narkoba justru leluasa mengendalikan jejaring bisnisnya. Pemakai narkoba di sana masuk ke dalam lingkaran peredaran narkoba, alih-alih bersih dari kecanduan. Padahal, dalam peraturan, korban penyalahgunaan narkotika seharusnya direhabilitasi, bukan disanksi pidana.
Aditya Widya Putri
26 Mei 2023, 07.35
Button AI Summarize

Jika dibandingkan dengan target rehabilitasi 2016 sebanyak 200.000, artinya hanya 6,7% kasus penyalahgunaan narkoba yang masuk ke pusat rehabilitasi.

Bukannya meningkat, data akhir tahun BNN menunjukkan tren rehabilitasi cenderung menurun. Target rehabilitasi sebanyak 18.000 hanya terealisasi 8,9% pada 2014. Pada tahun berikutnya, realisasi rehabilitasi sempat naik 38%, tetapi realisasinya kembali turun pada 2016, bahkan di bawah persentase dua tahun sebelumnya.

Target yang diharapkan bisa naik ke angka 200.000, tetapi capaiannya hanya 16.185 atau tercapai sekitar 8%.

Alih-alih memutus mata rantai peredaran, memasukkan pecandu ke penjara justru menempatkan mereka berkumpul dengan para pengedar. Apalagi diketahui, pengedar membuat pabrik narkotika di penjara. 

Artinya usai dipenjara, pengguna berpeluang kembali menjadi target transaksi narkotika. Dalam survei Nasional Penyalahgunaan Narkoba (2021) yang dilakukan BNN dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan hal tersebut.

Angka penyalahgunaan narkotika “setahun pakai” dan “pernah pakai” pada periode dua tahun menunjukkan tren meningkat. Pada kategori setahun pakai dari sebelumnya 1,8% pada 2019 naik menjadi 1,95% pada 2021. Kemudian kategori pernah pakai naik dari 2,4% menjadi 2,57% pada periode yang sama.

Dengan mengolah data laporan akhir tahun BNN pada 2017-2019, kita dapat menyimpulkan bahwa dibanding rehabilitasi, penjara justru menjadi solusi yang diambil penegak hukum terhadap kasus penyalahgunaan narkotika.

Pada 2017 aparat menangkap 58.365 orang terkait kasus penyalahgunaan narkotika. Sebanyak 18.311 direhabilitasi, lebih 40.000 orang mendapat hukuman kurung. Kemudian pada 2018 sebanyak 44.675 ditangkap, 15.263 orang direhabilitasi, dan 29.412 orang dipenjara.

Pada 2019 ada 42.469 orang tertangkap kasus penyalahgunaan narkotika, sebanyak 13.320 orang dapat direhabilitasi, tetapi 29.149 orang harus dihukum pidana.

Sudah rahasia umum, sistem rehabilitasi untuk korban narkotika bukan jadi alternatif solusi, tapi jalan untuk bertransaksi uang. Fakta ini tersurat dalam pernyataan Budi Waseso saat menjabat sebagai Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) pada 2017 lalu.

Saat itu Buwas, panggilan karibnya, punya wacana menutup pusat rehabilitasi lantaran rekomendasi rehab dianggap transaksional.

“Kalau ditangkap orang kan ingin direhab bukan dipidana. Nah, rehabilitasi jadi alasan pembenaran, dan pasti ada tawar-menawar, 'kamu mau dipidana atau direhabilitasi? Wani piro? Berani [bayar] berapa kamu?',” ujarnya.

Padahal rehabilitasi punya napas untuk memutus mata rantai penyalahgunaan narkoba. Korban penyalahgunaan narkotika diputus akses untuk tidak mencari narkotika, tidak berada di lingkungan sebelum yang mendukung konsumsi narkotika. Bukan seperti penjara dengan kondisi sebaliknya.

Halaman:

Editor: Aditya Widya Putri