Advertisement
Advertisement
Analisis | Benarkah Negara Kaya Bikin Warganya Bahagia? Halaman 2 - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Benarkah Negara Kaya Bikin Warganya Bahagia?

Foto: Joshua Siringo ringo/ Ilustrasi/ Katadata
Bagaimana mengukur kebahagiaan? Apakah seseorang yang memiliki kekayaan pasti lebih bahagia? Sejumlah data menunjukkan ada korelasi antara kedua hal tersebut. Namun, data juga menunjukkan bahwa kekayaan tidak selamanya memberikan kebahagiaan. Ada faktor lain yang dapat membuat seseorang lebih bahagia.
Vika Azkiya Dihni
8 Juni 2023, 17.01
Button AI Summarize

Sementara Hong Kong mengalami penurunan skor kebahagiaan karena adanya ketimpangan dan ketidakstabilan ekonomi, terutama akibat pandemi Covid-19.

Contoh di sejumlah negara ini menunjukkan, kemajuan ekonomi dan besarnya kekayaan tidak selalu menjamin kebahagiaan penduduknya. Stabilitas sosial-politik dan keamanan turut mempengaruhi kebahagiaan.

Thomas T Hills, profesor psikologi di Universitas Warwick, Inggris, dalam “The Resiliency of Happiness: A study of the history of happiness shows that even nations bounce back” mencatat, kekayaan memang membawa kebahagiaan. Namun di luar itu, kesehatan, usia harapan hidup, konflik bersenjata, dan kehancuran akibat perang lebih berpengaruh terhadap kebahagiaan penduduk suatu negara.

Bertambahnya usia harapan hidup satu tahun, misalnya, memiliki efek yang sama pada kebahagiaan nasional dengan peningkatan PDB sebesar 4,3%. Namun, perang menyebabkan penurunan terbesar dalam kebahagiaan. Perang selama setahun bisa menurunkan PDB sebanyak 30%.

Meskipun peningkatan pendapatan penting untuk kebahagiaan, lebih penting lagi memastikan penduduk sehat dan menghindari konflik. Penelitian lain menunjukkan kekayaan memang membawa kebahagiaan. Namun ada batas tertentu dari kekayaan yang dimiliki dalam menentukan tingkat kebahagiaan seseorang.

Dalam artikel yang ditulis profesor psikologi Daniel Kahneman dan ekonom Angus Deaton, keduanya dari Princeton University, Amerika Serikat, menunjukkan ada batas penghasilan yang menjamin kebahagiaan. Keduanya mencatat, orang akan lebih bahagia jika memiliki penghasilan mencapai US$75 ribu per tahun—kurang lebih Rp1 miliar. 

Namun jika lebih dari itu, efeknya tidak begitu berdampak. Artinya, saat pendapatan mereka lebih tinggi lagi, uang tidak lagi menjadi sumber kebahagiaan. 

“Begitu kebutuhan dasar seseorang dan beberapa kebutuhan lainnya terpenuhi dengan nyaman, lebih banyak uang tidak diperlukan untuk kesejahteraan emosional,” kata mereka dalam artikel berjudul “High income improves evaluation of life but not emotional well-being.”

Belajar dari Negara Skandinavia

Dalam laporan WHR, negara-negara Nordik dan Skandinavia selalu masuk dalam daftar 10 besar negara paling bahagia. Menurut Frank Martela, filsuf dan peneliti psikologi asal Finlandia, di negara-negara tersebut memiliki sistem sosial yang baik. Mereka punya tunjangan pengangguran, tunjangan pensiun, dan lain-lain yang menyejahterakan warganya.

Artikel “World Happiness Report: Are the Nordic Countries Really So Happy” yang dikeluarkan majalah Forbes, 19 Maret 2022, menjelaskan kepercayaan antarwarga dan kepercayaan pada pemerintah sebagai faktor penting kebahagiaan di negara-negara Nordik. 

“Ketika orang sudah merasa aman dalam pekerjaan, kesehatan, dan pendidikan, mereka memiliki kebebasan untuk investasi emosional pada hal-hal yang lebih penting demi kebahagiaan, seperti keluarga, teman, dan kesenangan.”

Halaman:

Editor: Aria W. Yudhistira