Advertisement
Analisis | Setelah 'Ditinggal' Jokowi, Bagaimana Nasib Suara PDIP di Pemilu 2024? - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Setelah 'Ditinggal' Jokowi, Bagaimana Nasib Suara PDIP di Pemilu 2024?

Foto: Ilustrasi/ Katadata/ Bintan Insani
PDI Perjuangan meradang gara-gara manuver politik Joko Widodo dan anggota keluarganya menjelang Pemilu 2024 dengan menyokong capres Prabowo Subianto. Perolehan suara partai yang selama ini menjadi perahu politikus asal Solo tersebut berpotensi tergerus. Penyebabnya, partai yang lekat dengan citra partai wong cilik tersebut memiliki ketergantungan terhadap tokoh untuk mengerek suara di pemilu. Sampai saat ini belum ada tokoh PDIP yang sepopuler Jokowi.
Puja Pratama
15 November 2023, 10.07
Button AI SummarizeBuat ringkasan dengan AI

Isu keretakan antara Joko Widodo dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) mencuatkan wacana bakal turunnya perolehan suara partai berlambang banteng moncong putih itu pada Pemilu 2024. Pada dua kali pemilu terakhir, suara PDIP memang mengalami kenaikan seiring dengan pencalonan Jokowi, panggilan populer Joko Widodo, sebagai presiden.

PDIP adalah perahu Jokowi saat mengarungi lautan politik tanah air sejak 2005, ketika dia bertarung sebagai calon wali kota Surakarta. Partai ini juga yang mengantarkannya menjadi gubernur DKI Jakarta pada 2012 hingga memenangkan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 dan 2019. 

Tak hanya Jokowi, partai yang dipimpin Megawati Soekarnoputri ini juga membuka jalan bagi anak sulungnya Gibran Rakabuming Raka menjadi wali kota Surakarta dan menantunya Bobby Nasution menjadi wali kota Medan pada 2020. 

Gregory Coles (2018) dalam “What Do I Lack as a Woman?: The Rhetoric of Megawati Sukarnoputri” menggambarkan Megawati sebagai ibu sekaligus pengganti figur ayah. Megawati sendiri menyematkan dirinya sebagai sosok “ibu” yang menempatkan dirinya sebagai kepala keluarga di partainya sekaligus ibu bangsa (“national mother”). Dia pun kerap memanggil anggota dan kader PDIP dengan sebutan “anak-anak PDI saya”.

Posisi ibu-anak ini pula yang ditunjukkan Megawati ketika memutuskan tidak akan maju menjadi calon presiden dan memilih mencalonkan Jokowi pada 2014. Megawati mengatakan, karena dirinya sudah berpengalaman, dan dia berharap anak-anaknyalah yang mendapat pengalaman untuk mengambil otoritas.

Pola hubungan ini yang membuat PDIP seperti layaknya keluarga besar. Makanya tidak heran ketika Jokowi dan anak-anaknya memilih berseberangan dengan jalan yang telah dipilihkan oleh sang “ibu” memunculkan kekecewaan dari anggota keluarga besar PDIP lainnya. 

Seperti yang disampaikan Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto saat menyikapi pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto. 

“Kami begitu mencintai dan memberikan privilege begitu besar kepada Presiden Jokowi dan keluarga, namun kami ditinggalkan,” kata Hasto dalam keterangan tertulis, pada Minggu, 29 Oktober lalu.

Faktor Jokowi dan Potensi Hilangnya Suara PDIP

Retak hubungan dengan Jokowi berpotensi menggerus suara PDIP, kata Nyarwi Ahmad, dosen komunikasi politik Universitas Gadjah Mada (UGM). Dia memperkirakan bakal terjadi pergeseran suara yang tadinya akan memilih pasangan Ganjar Pranowo – Mahfud MD yang didukung PDIP ke pasangan Prabowo – Gibran. 

Namun di sisi lain, sebagai partai yang sudah berada di dalam lingkar kekuasaan selama hampir 10 tahun terakhir, saat ini adalah waktu yang tepat bagi PDIP untuk menunjukkan diri sebagai partai yang mandiri lepas dari ketergantungan pada sosok Jokowi. 

“Nah, sebenarnya ini momentum untuk menegaskan bahwa PDIP ini partai populis, seperti ketika 2014 saat mengusung Jokowi,” kata Nyarwi saat dihubungi Katadata.co.id pada Jumat, 10 November 2023.

Persoalannya, mesin politik PDIP belum berjalan. Begitu juga iklim pemilu saat ini tidak seperti 2014 yang menguntungkan PDIP saat mengusung Jokowi. Pada saat itu, mesin-mesin pembentuk opini untuk memilih partai yang juga identik dengan simbol Soekarno tersebut berjalan cukup masif. 

“Rumusnya kayak Shakespeare, fighting fire with fire. Kalau berkompetisi dengan populis maka harus dengan populisme juga. Jokowi itu populis, awalnya ya. Problemnya ganjar itu tidak sepopulis Jokowi.” kata Nyarwi.

Hasil survei Indikator Politik Indonesia yang dirilis 20 Oktober 2023 menunjukkan Jokowi masih menjadi faktor penentu pemilih untuk mencoblos PDIP pada pemilu mendatang. Sebanyak 27,3% responden memang mengaku memilih PDIP karena terbiasa memilih partai tersebut. Namun 21,9% mengaku karena suka dengan mantan gubernur DKI Jakarta itu. 

Keterkaitan antara ketokohan Jokowi terhadap elektabilitas PDIP juga terlihat dari tingkat kepuasan masyarakat terhadap presiden. Naik turunnya kepuasan masyarakat selaras dengan naik turunnya elektabilitas PDIP. Menurut Nyarwi, kondisi ini dikarenakan Jokowi berhasil mempersempit ruang oposisi.

“Ketika tingkat kepuasan rakyat terhadap Jokowi tinggi, artinya ruang masyarakat yang tidak puas sedikit. Hal tersebut juga dapat diartikan ruang oposisi juga semakin sempit,” kata dia. 

“Para oposisi Jokowi di periode dua ini juga sudah dirangkul semua, artinya makin tidak ada ruang oposisi dan tentu menyebabkan kepuasan ini  juga naik.” tutur Nyarwi.

Partainya Wong Cilik

Alasan karena terbiasa memilih PDIP yang tercatat dari hasil survei Indikator Politik Indonesia sebetulnya menunjukkan bahwa partai yang identik dengan warna merah tersebut memiliki pemilih loyal. Hasil survei Litbang Kompas pada 25 Januari hingga 4 Februari 2023 pun mencatat hal yang sama, partai banteng ini memiliki pemilih tetap sebesar 45,7%. Porsinya hanya lebih sedikit dari Partai Amanat Nasional (PAN) yang sebesar 50%.  

Hal ini menunjukkan bahwa loyalitas pemilih PDIP tidak semata didorong oleh popularitas tokoh-tokohnya. Salah satunya karena idealisme dan pondasi partai yang mengakar. Hal ini diperkuat dengan pencitraan partai tersebut sebagai wakil suara wong cilik

Citra wong cilik ini pula yang membuat Megawati memberikan dukungan terhadap Jokowi untuk menjadi calon presiden (capres) pada 2014. “Si kerempeng (Jokowi) ini senangnya blusukan. Kalau saya ke Solo, Bu kita jalan-jalan kemana? Ke tempat kumuh?  Entah kemana tapi saya lihatin terus ini orang,” ujar Megawati saat berpidato di Rakernas Partai Nasdem pada 27 Mei 2014.

Karakter sebagai partai populis ini pernah dimainkan PDIP pada Pemilu 1999. Pada pemilu pertama era Reformasi tersebut, PDIP berhasil menjadi pemuncak dengan memperoleh 35,6 juta suara (33,7%). Ketika itu, PDIP dinilai berhasil memanfaatkan momentum dengan menjadi antitesis Golkar yang telah berkuasa selama 32 tahun era Orde Baru yang dinilai sarat dengan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). 

Sebagai partai wong cilik, membuat PDIP memiliki posisi yang jelas dan bermakna dalam perpolitikan di tanah air. PDIP ketika itu dinilai sebagai simbol perlawanan rakyat yang terpinggirkan oleh rezim Orde Baru, sekaligus pembeda dengan partai-partai lain. 

Sayangnya, kata Agus Sutisna dalam “Perspektif Marketing Politik: Kegagalan PDIP dan Partai Demokrat dalam Mempertahankan Posisi Sebagai Partai Pemilu 1999 dan 2009”, PDIP gagal mempertahankan citra sebagai partai wong cilik pada pemilu berikutnya. Perolehan suara PDIP merosot pada 2004 dan 2009. 

PDIP dinilai tidak mampu mengelola empat bauran dalam marketing politik, yakni policy, person, party, dan presentation. Masa kepresidenan Megawati dinilai banyak menelurkan kebijakan yang dianggap tidak berpihak kepada wong cilik. Mulai dari penjualan aset, lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan, hingga skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Dari segi tokoh, banyak kader PDIP yang terjerat kasus korupsi sehingga memudarkan citra sebagai antitesis partai Orde Baru yang sarat KKN. Kinerja kader pun dinilai kurang mampu memberikan efek positif terhadap masa depan partai. 

Alhasil, perolehan suara PDIP terjun bebas menjadi 21 juta (18,5%) pada 2004. Di pilpres, Megawati yang berpasangan dengan KH Hasyim Muzadi dipecundangi Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla (JK) yang didukung oleh koalisi partai-partai kecil. Kekalahan tersebut berlanjut pada 2009. 

“Ketokohan Megawati pada 2004 mulai pudar seiring dengan munculnya figur-figur baru yang lebih populer seperti SBY,” kata Sutisna.

Menurut Nyarwi, turunnya suara PDIP pada 2004 dan 2009 sekaligus merupakan bentuk nyata persaingan partai politik era reformasi. Momentum munculnya partai-partai baru yang juga menggagas landasan nasionalisme dan melancarkan cara-cara populisme semakin menggerus suara PDIP. 

“Tidak hanya migrasi pemilih, tetapi juga terjadi migrasi para elite. Muncul partai-partai baru 2004 – 2009 yang didirikan tokoh tokoh PDIP juga, menyebabkan suara PDIP menurun. Selain bahwa keberadaan PDIP tak terlalu lagi menonjol, ditambah sentimen Megawati saat menjadi presiden tak terlalu baik.” katanya.

Bisakah Keluar dari Bayang-bayang Jokowi? 

Nyarwi Ahmad yang juga Direktur Eksekutif Indonesian Presidential Studies (IPS) menilai, personalisasi Jokowi memberikan keuntungan untuk PDIP. Menurutnya, fenomena ini terjadi karena daya tarik pemilih terhadap individu selalu lebih tinggi daripada daya tarik ke partai. 

Kondisi ini juga didukung dari munculnya Jokowi dengan citra populis pada 2014, saat masyarakat merindukan figur orang biasa yang lahir dari rakyat untuk menjadi pemimpin. “Apalagi di Indonesia itu personalisasi politiknya luar biasa. Politik itu menjadi sebuah kontestasi atau arena panggung personal,” tuturnya.  

Hal ini karena sistem pemerintah di tanah air yang tersentral sehingga masyarakat lebih melihat kerja individu yang ada di panggung eksekutif. “Mulai dari kepala daerah sampai presiden itu yang lebih dominan di mata publik,” kata dia. 

Dalam konteks itulah, dengan menarik Jokowi ke gelanggang nasional sangat menguntungkan PDIP pada 2014. Menurut Nyarwi sosok Jokowi memiliki daya magnet yang kuat dan ikut menaikkan daya magnetik partai. Belum ada figur PDIP yang daya magnetnya sekuat Jokowi. 

Hal ini juga pernah terekam dalam survei Indikator Politik Indonesia menjelang Pemilu 2014. Ketika itu disimulasikan potensi suara tiap partai jika PDIP tidak mencalonkan Jokowi sebagai calon presiden. Hasilnya, PDIP menjadi partai yang paling diuntungkan. Sebaliknya, Golkar yang paling diuntungkan jika Jokowi tidak dicalonkan. Relasi saling menguntungkan antara PDIP dan Jokowi berlanjut pada Pemilu 2019. 

Danis T.S Wahidin, dkk (2020) dalam “Partai Politik dan Perilaku Pemilih di Indonesia (Studi pada Pemilu Legislatif 2009, 2014 dan 2019)” menjelaskan, Ada sejumlah faktor yang ikut menjaga stabilitas dan kenaikan suara PDIP pada Pemilu 2019. Mulai dari stabilitas kepercayaan terhadap partai dan Jokowi, serta tingginya kepuasan masyarakat terhadap pemerintahan Jokowi – JK. 

Dalam survei Charta Politika pada 13 -19 April 2018, sebanyak 36,4% responden menyebut alasan memilih PDIP adalah ketokohan Joko Widodo sebagai calon presiden 2019 dan hanya 21,7% yang memilih karena ideologi Soekarno dan nasionalismenya.

Meski label sebagai partai populis yang mewakili wong cilik mulai tergerus, Survei terbaru LSI menunjukkan bahwa pemilih PDIP hari ini masih didominasi oleh masyarakat menengah ke bawah. Dapat terlihat juga bahwa pemilih PDIP akan semakin banyak di golongan masyarakat yang memiliki pendapatan lebih rendah. 

Nyarwi Ahmad menilai, PDIP masih menjadi sebuah partai yang populis hingga saat ini. Namun, sulit untuk mencapai perolehan suara seperti Pemilu 1999. Partai-partai seperti Gerindra akan membatasi ruang gerak PDIP untuk mengembangkan basis suaranya. 

Ada banyak faktor yang menyulitkan PDIP. Selain banyak partai yang memiliki ideologi mirip, yakni nasionalisme dan kerakyatan, masyarakat juga melihat kinerja partai selama dalam pemerintahan. Artinya, PDIP perlu memperbaiki citra populis sebagai partai wong cilik.

“Apalagi ketika berada di dalam tubuh pemerintahan, masyarakat makin beranggapan bahwa PDIP sebenarnya tak sepenuhnya peduli dengan kemiskinan,” kata Nyarwi.

Kemudian yang juga penting adalah belum ada lagi tokoh PDIP yang popularitasnya menyamai Megawati pada 1999 dan Jokowi pada 2014 dan 2019. 

Editor: Aria W. Yudhistira