Advertisement
Advertisement
Analisis | Benarkah Alutsista Uzur Penyebab Rendahnya Keandalan Militer Indonesia? Halaman 2 - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Benarkah Alutsista Uzur Penyebab Rendahnya Keandalan Militer Indonesia?

Foto: Ilustrasi/ Katadata/ Bintan Insani
Dalam debat pada 7 Januari lalu, capres Prabowo Subianto yang saat ini menjabat Menteri Pertahanan dicecar pertanyaan mengenai penyebab rendahnya kekuatan militer Indonesia. Salah satu yang diperdebatkan adalah strategi pemerintah membeli alutsista bekas. Hal ini dituding penyebab turunnya indeks kapabilitas militer negara kita.
Puja Pratama
18 Januari 2024, 17.07
Button AI Summarize

Menurut dia, alokasi anggaran untuk pembelian alutsista dalam lima tahun terakhir sudah cukup tepat sasaran. Ini lantaran pengadaan tak hanya dilakukan untuk alat berat, tapi juga komponen pendukung perang seperti radar. 

 

“Alutsista bukan hanya pesawatnya, kapalnya, atau tanknya. Tapi juga radarnya juga kita tingkatan. Itu sudah dijalankan. Hanya saja apakah semuanya bisa segera dipenuhi itu kan bergantung pada kemampuan anggaran tadi. Kalau secara kebutuhan sudah tersusun dan sudah cukup tepat,” katanya.

Alutsista di Era Perang Siber 

Selain mengakuisisi alutsista dari luar, Indonesia perlu menciptakan berbagai alutsista modern dari dalam negeri. Saat ini produk militer yang dikembangkan dan diproduksi industri pertahanan dalam negeri masih didominasi oleh proyektil, tenaga penggerak, dan platform yang bukan merupakan teknologi bernilai tinggi. 

Persoalannya, seiring perkembangan teknologi, perang tidak hanya dilakukan secara konvensional. Robot, sensor, teknologi informasi (TI) merupakan komponen penting dalam perang di masa mendatang.  

Menurut Khairul, kondisi modern warfare akan sangat kompleks dan batasan ranah perang yang semakin “kabur”. “Antara wilayah politik atau militer. Wilayahnya kombatan atau warga sipil, yang berujung menambah persoalan dalam konteks pembangunan kapabilitas militer kita,” ujar dia. 

 

LAB 45 mencatat, dibandingkan negara-negara Asia Tenggara, Indonesia baru melakukan modernisasi pada dua jenis alat militer, yakni pesawat tanpa awak (UAV) dan satelit. Sementara di negara lain lebih cepat melakukan modernisasi.

 

Dalam daftar yang disusun LAB 45, hanya dua negara yang telah berhasil melakukan modernisasi Command, Control, Communications, Computers, Intelligence, Surveillance, and Reconnaissance (C4ISR) dan Command, Control, Communications, Computers, Cyber, Intelligence, Surveillance and Reconnaissance (C5ISR) pada 2023. C4ISR dan C5ISR adalah teknologi utama dalam era modern warfare.

Kedua mekanisme jaringan ini sama-sama berperan untuk menciptakan interkoneksi pasukan, alat perang, dan perang itu sendiri. Pada praktiknya mekanisme ini digunakan untuk memberikan informasi dengan sangat cepat dan akurat dan memperpendek proses Observe, Orient, Decide, Act (OODA) di medan perang.

Teknologi modern dari kedua mekanisme ini juga dapat menganalisis big data peperangan, sehingga membantu pasukan bertindak lebih efisien dan cepat. Dua mekanisme ini sering disebut sebagai “sistem syaraf” operasi militer. Hal ini karena menciptakan integrasi komunikasi dari satelit, radar, kontrol komando, pasukan, dan alat perang sehingga operasi dapat berjalan lebih efisien dan memungkinkan untuk dilakukan secara multi-matra.

Richard Bitzinger (2010) dalam Military Modernization in the Asia-Pacific: Assessing New Capabilities, menyebutkan bahwa saat ini teknologi informasi memang dapat membantu peperangan secara signifikan. Dia menyebutkan bahwa peperangan yang berpusat pada jaringan akan menjadi penghubung antarorang, senjata, sensor, dan proses pengambilan keputusan dalam satu jaringan.

Efeknya, akan membuat kecepatan komando meningkat, efisiensi operasi, lethal effect yang besar, dan peningkatan kemampuan bertahan hidup pasukan yang lebih baik. Tapi sayangnya, Indonesia belum memodernisasi kedua mekanisme tersebut.

Menurut Khairul Fahmi, pembahasan C4ISR dan C5ISR belum banyak diperbincangkan. Bahkan hal ini luput dalam debat capres pada 7 Januari lalu. 

Fahmi menjelaskan bahwa mekanisme “sistem syaraf” operasi militer ini adalah peningkatan dari mekanisme Sigil (Signal Intelligence) yang dulunya hanya memberikan informasi berupa sinyal. Sekarang dengan C4ISR dan C5ISR, ancaman yang masuk ke teritori Indonesia bisa dideteksi lebih dini.

“Dengan mekanisme ini sudah bisa juga bisa kita lihat, berapa orang di dalam kapal, persenjataannya, jenis dan struktur kapalnya. Itu akan lebih memudahkan untuk menimbang kekuatan seperti apa yang dibutuhkan untuk melakukan tindakan awal.” kata Fahmi.

Halaman:

Editor: Aria W. Yudhistira