Advertisement
Advertisement
Analisis | Benarkah Alutsista Uzur Penyebab Rendahnya Keandalan Militer Indonesia? - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Benarkah Alutsista Uzur Penyebab Rendahnya Keandalan Militer Indonesia?

Foto: Ilustrasi/ Katadata/ Bintan Insani
Dalam debat pada 7 Januari lalu, capres Prabowo Subianto yang saat ini menjabat Menteri Pertahanan dicecar pertanyaan mengenai penyebab rendahnya kekuatan militer Indonesia. Salah satu yang diperdebatkan adalah strategi pemerintah membeli alutsista bekas. Hal ini dituding penyebab turunnya indeks kapabilitas militer negara kita.
Puja Pratama
18 Januari 2024, 17.07
Button AI Summarize

Gara-gara alat utama sistem senjata (alutsista) bekas, Prabowo Subianto “di-roasting” Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo saat debat calon presiden (capres) pada Minggu, 7 Januari lalu. Mereka menilai selama menjadi menteri pertahanan, Prabowo gagal meningkatkan kekuatan militer Indonesia. Salah satunya lantaran membeli senjata bekas.

Ganjar misalnya, mempertanyakan mengapa skor kapabilitas militer berdasarkan indeks yang disusun Lowy Institute, sebuah lembaga think tank yang berbasis di Australia turun. Dalam indeks tersebut, skor Indonesia turun dari 16,2 pada 2018 menjadi 14,6 poin pada 2023.

Dalam Asia Power Index yang disusun Lowy Institute ada empat indikator kapabilitas militer sebuah negara, yakni kemampuan alutsista, anggaran pertahanan, jumlah pasukan dan kesiapan prajurit, serta kemampuan pengerahan pasukan. 

Prabowo yang menjabat sebagai menteri pertahanan sejak 2019 tidak menjawab pertanyaan Ganjar. Dia mengatakan butuh waktu untuk menjawabnya. Alih-alih menjelaskan, Prabowo justru berdalih “rahasia negara” sehingga tidak menjawab berbagai pertanyaan mengenai sektor pertahanan yang dilontarkan kepadanya. 

Sebetulnya, pembelian alutsista tak bisa diukur hanya dalam diksi “bekas” tetapi “usia pakai”. Karena pada praktiknya, regulasi pembelian alutsista fresh from the oven terbilang rumit. Hal ini semestinya dapat menjadi argumen Prabowo untuk menjawab berbagai persoalan yang ditudingkan kepadanya. 

Misalnya, Amerika Serikat sebagai salah satu produsen senjata dunia, memiliki sekurangnya empat payung hukum yang mengatur penjualan alat perang. Mulai dari Arms Export Control Act dan International Traffic in Arms Regulations (ITAR) yang mengatur pengendalian ekspor alat perang.

Kemudian ada Conventional Arms Transfer Policy yang mengatur perihal panduan penjualan, transfer, dan lisensi ekspor. Dalam beleid ini juga disebutkan pertimbangan geopolitik, hingga potensi embargo terhadap negara pembeli. 

Faktanya, kondisi alutsista Indonesia hari ini mayoritas merupakan generasi lawas. Berdasarkan studi Laboratorium Indonesia 2045 (LAB 45) “Tren Pasar Senjata Global dan Pengembangan Industri Pertahanan Indonesia” yang dirilis Juli 2023, mayoritas alutsista Indonesia telah berusia lebih dari 20 tahun. 

LAB 45 yang mengolah data dari IISS Military Balance mencatat, hanya 35% alutsista Indonesia yang tergolong sebagai alat perang mutakhir. Sisanya merupakan alutsista yang diproduksi tahun 2000 ke bawah. Malahan ada yang diproduksi di bawah tahun 1950. 

Kemampuan kita memperbarui alutsista dipengaruhi oleh rendahnya anggaran pertahanan. Dari data yang dilansir Kementerian Keuangan, rasio anggaran pertahanan tidak pernah mencapai di atas 1% terhadap produk domestik bruto (PDB). 

 

Pengamat militer dan Co-Founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi mengatakan, uzurnya alutsista dan minimnya anggaran pertahanan memang menjadi faktor utama menurunnya kapabilitas militer Indonesia. 

Dampaknya sangat signifikan kalau kita terus pakai yang uzur tanpa disiapkan pengganti. Ini akan sangat berdampak kepada kapabilitas militer kita,” kata dia saat dihubungi Katadata.co.id pada 1o Januari lalu.

Dia mengibaratkan manusia, ketika usia bertambah maka akan ada problem degeneratif dan penurunan fungsi organ tubuh. “Kita akhirnya dihadapkan pada problem, ingin pertahanan optimal tapi karena uzur harus mempertimbangkan beban kerjanya.” katanya.

Menurutnya, harus ada langkah-langkah transisi untuk menyiasatinya. Strategi yang diambil pemerintah selama ini adalah melalui pengadaan alutsista bekas. 

“Kapabilitas alutsista berangsur menurun, ada juga yang menjelang pengakhiran masa pakai. Tanpa pengadaan baru dan kelonggaran fiskal, kekuatan pertahanan akan menurun signifikan dalam beberapa tahun ke depan,” ujar Khairul.

Selain karena anggaran, dia menilai dampak embargo Amerika sejak 1998 hingga 2008 juga menjadi salah satu penyebab banyak alutsista Indonesia yang berusia tua. Setelah embargo berakhir, pemerintah mulai merancang Minimum Essential Force (MEF) yang dibagi dalam tiga rencana strategi (renstra) yakni 2010-2014, 2015-2019, dan 2020-2023. 

Namun, pencapaian MEF cenderung stagnasi di era Presiden Joko Widodo. Pandemi Covid-19 turut ikut andil dalam tidak tercapainya target MEF. Adapun pemesanan 42 pesawat tempur Rafale dari Prancis dinilai belum mampu memenuhi kebutuhan minimum alutsista Indonesia. 

“Kedatangan Rafale itu baru menggantikan kekuatan yang sudah tua dan uzur tadi, tapi belum sampai meningkatkan kekuatan militer kita secara signifikan,” kata Khairul. 

Halaman:

Editor: Aria W. Yudhistira


Button AI Summarize