Advertisement
Advertisement
Analisis | Target Serangan dan Profil Korban di Balik Tuntutan Genosida Israel Halaman 2 - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Target Serangan dan Profil Korban di Balik Tuntutan Genosida Israel

Foto: Ilustrasi/ Bintan Insani
Dalam putusan selanya, Mahkamah Internasional memerintahkan Israel tidak melakukan genosida di wilayah Gaza. Sejak pecah konflik, sebagian besar korban serangan Israel di Gaza adalah anak-anak dan perempuan.
Dini Pramita
1 Februari 2024, 18.21
Button AI Summarize

Sementara itu, merujuk data per 7 Oktober sampai 24 Desember 2023 saja, terdapat 30 rumah sakit di Palestina, khususnya Gaza yang dibombardir tentara Israel. Rumah Sakit Al-Shifa mendapatkan 12 serangan selama periode tersebut, disusul Al-Quds, dan Rumah Sakit Indonesia yang mendapatkan sembilan serangan. 

Puluhan rumah sakit lain yang tersebar di Gaza pun tak luput dari serangan. Setiap rumah sakit mendapatkan setidaknya satu sampai tiga kali serangan yang menghancurkan fasilitas rumah sakit dan melumpuhkan pelayanan kesehatan di Gaza.

Menilik laporan berkala yang diterbitkan dalam dashboard United Nations Office for the Coordination of Humanitarian Affairs (UN OCHA), tentara Israel cenderung menggunakan senjata tempur yang dapat menimbulkan daya rusak tinggi. Serangan rudal yang menghujani Palestina tercatat sebagai serangan paling mematikan dibandingkan serangan dengan jenis senjata lainnya. 

Menelisik pernyataan Presiden Israel Isaac Herzog pada konferensi pers tanggal 13 Oktober, Raz Segal sangat yakin Israel melakukan genosida. “Pemimpin Israel menyatakan niat yang eksplisit, jelas, dan langsung atas itu (genosida),” kata dia.

Dalam konferensi pers yang dimaksud, Herzog menyatakan, “Seluruh bangsa di luar sana bertanggung jawab. Retorika tentang warga sipil yang tidak sadar, tidak terlibat, itu sama sekali tidak benar. Mereka bisa saja bangkit, mereka bisa berperang mengambil alih Gaza melalui kudeta.” 

Menurut Segal, pernyataan itu menunjukkan Israel menyamakan semua warga Palestina sebagai “populasi musuh”.

Hal itu terkonfirmasi dari brutalitas serangan Israel yang turut membunuh perempuan dan anak-anak untuk menghentikan regenerasi penduduk, mencegah kelahiran, dan secara sengaja menyerang fasilitas dasar termasuk fasilitas kesehatan dasar seperti rumah sakit. 

Ironi Konvensi Genosida, Diratifikasi oleh Pelaku Genosida

Dalam tulisannya di The Conversation berjudul, “The Landmark Genocide Convention Has Had Mixed Results Since the UN Approved it 75 Years Ago,” Alexander Laban Hinton menjabarkan perdebatan mengenai istilah genosida seringkali dikemukakan untuk menyangkal bahwa genosida benar-benar telah terjadi.  

Ketua UNESCO untuk pencegahan genosida itu menyebutkan Konvensi Genosida merupakan produk tawar-menawar politik, kompromi dan tekanan dari beberapa negara besar di dunia. Akibatnya, konvensi tersebut juga mempunyai kelemahan besar.

Dalam sejarahnya, konvensi ini lahir setelah peristiwa holocaust yang dilakukan Nazi. Berkaca dari peristiwa tersebut, negara-negara di dunia yang berhimpun dalam PBB berjanji untuk membebaskan umat manusia dari bencana keji yang didefinisikan dengan kata “genosida”. Janji itu dituangkan dalam bentuk konvensi pada 9 Desember 1948 untuk mencegah genosida terulang kembali dalam sejarah umat manusia.

Sejak 1948 hingga 2022, dari seluruh negara anggota PBB, sebanyak 153 meratifikasi Konvensi Genosida, sisanya sebanyak 41 negara belum melakukan ratifikasi, yang terdiri dari 18 negara di Afrika, 17 negara di Asia (termasuk Indonesia) dan 6 negara-negara bagian di Amerika. 

Tapi Hinton secara tegas menyatakan negara-negara yang menandatangani konvensi tersebut, gagal memenuhi janji untuk mencegah dan menghapus genosida. Dia merujuk kekerasan di Timur Tengah, Ukraina, Sudan, Yaman, Ethiopia, dan Palestina sebagai bukti.

Menurut Hinton, konvensi ini hanya memberikan perlindungan bagi kelompok ras, etnis, kebangsaan dan agama. Namun, membiarkan kelompok lain di luar definisi itu, seperti kelompok politik dan kelompok ekonomi, tidak terlindungi. Ini menjadi alasan serangan terhadap orang-orang dari kelompok politik tertentu atau kelas ekonomi tertentu secara teknis tidak dianggap genosida. 

Akibatnya, kata Hinton, konvensi ini memberi ruang bagi pelaku genosida untuk lolos. Lebih buruknya lagi, kata dia, konvensi ini tidak memiliki taring karena tak ada kekuatan penegakan hukum bagi pelakunya.

Sejak konvensi dikeluarkan pada 1948, tercatat berbagai macam praktik genosida terjadi. Pada 1991-1995, sebanyak 8.000 masyarakat Bosnia berjenis kelamin laki-laki dari segala rentang umur, dibunuh oleh tentara Serbia.

Setelah itu, peristiwa genosida menyeruak di Rwanda pada 1994 yang menewaskan lebih dari 500 juta penduduk beretnis Tutsi. Mantan Wali Kota Taba, Rwanda, Jean-Paul Akayesu menjadi terdakwa atas genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan atas peristiwa tersebut.

Menurut catatan United States Holocaust Memorial Museum, setelah peristiwa Rwanda, genosida kembali terjadi di Darfur, Irak dan Suriah.

Halaman:

Editor: Dini Pramita