Advertisement
Advertisement
Analisis | Bagaimana Pipa Air Bersih dapat Menurunkan Stunting di Provinsi NTT? Halaman 2 - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Bagaimana Pipa Air Bersih dapat Menurunkan Stunting di Provinsi NTT?

Foto: Katadata/ Bintan Insani/ AI
Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah salah satu provinsi dengan prevalensi stunting tertinggi di Indonesia. Persoalan terbesar di provinsi ini adalah minimnya fasilitas air bersih layak dan sanitasi. Selain minimnya anggaran, pemerintah desa tidak memiliki kewenangan untuk mengatur alokasi dana untuk program jangka panjang yang sesuai kebutuhan desanya.
Leoni Susanto
8 April 2024, 10.15
Button AI Summarize

Menurut Kepala Bappeda Kabupaten Ende Andreas Worho, pemda masih menjumpai kesulitan anggaran dan bergantung pada DAK ini untuk alokasi anggaran ke program sanitasi dan air minum layak.

Pada 2024, Kabupaten Ende menerima DAK untuk program sanitasi dan air minum sebesar Rp19,2 miliar. Namun, ini hanya 1,51% dari keseluruhan APBD Kabupaten Ende di tahun yang sama.

Secara keseluruhan DAK Air Minum dan Sanitasi di NTT mencapai Rp341,8 triliun. Terbesar alokasi turun ke Kabupaten Sumba Timur, Sumba Barat Daya, dan Nagekeo.

Menurut Perpres 123/2020 tentang Petunjuk Teknis Dana Alokasi Khusus Fisik Tahun Anggaran 2020, bidang air minum dan sanitasi masuk dalam tematik penurunan kematian ibu dan stunting serta tematik penanggulangan kemiskinan. Arah kebijakan bidang air minum mencakup perwujudan pembangunan akses air minum perpipaan 10 juta sambungan rumah (SR) dan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) bukan jaringan perpipaan komunal.

Sedangkan untuk arah kebijakan sanitasi menargetkan peningkatan penyediaan infrastruktur pelayanan dasar air limbah dan persampahan skala pemukiman untuk mendukung akses sanitasi layak dan pengurangan sampah perkotaan.

Keleluasaan Desa Mengatur Alokasi Anggaran Sanitasi dan Air Minum

Organisasi nirlaba Wahana Visi Indonesia (WVI) membantu pemda Kabupaten Ende untuk menjawab kebutuhan akan kewenangan tiap desa. Misalnya untuk penyusunan peraturan desa (perdes) untuk sanitasi. WVI juga membantu menjawab kebutuhan sistem agar bisa mendukung transparansi alokasi anggaran untuk sanitasi dan air minum.

Pada 2022, WVI lewat program Financing Wash for Universal Coverage (FINWASH4UC) dan pemerintah daerah mendorong desa-desa di Ende untuk mengalokasikan anggaran air bersih dan sanitasi. 

Salah satu langkahnya adalah lewat penerapan Sistem Keuangan Desa (Siskeudes) online yang gencar dilakukan sejak 2023 di Kabupaten Ende. Sistem ini bakal membantu tidak hanya transparansi keuangan di desa, tetapi juga dapat digunakan pemda untuk memantau perencanaan alokasi anggaran air bersih dan sanitasi tiap desa nantinya.

Menurut Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD) Kabupaten Ende, dari 255 desa, sudah lebih dari 150 desa yang siap beralih ke Siskeudes online.

Selain Siskeudes, WVI juga mendorong terbitnya Peraturan Bupati (Perbub) Ende nomor 2/2022 tentang daftar kewenangan desa berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala desa. Perbup ini kemudian mendorong munculnya peraturan desa di tiap desa Ende. 

Sebelumnya, pengalokasian anggaran Dana Desa cenderung mengikuti arahan dari pemerintah pusat yang belum tentu sesuai dengan kebutuhan tiap desa. Terbitnya perdes di Ende ini nantinya bakal memberi desa kewenangan untuk mengalokasikan anggarannya sesuai kebutuhan spesifik tiap desa, salah satunya pengelolaan air minum dan sanitasi. 

Project Manager FINWASH4UC Maya Sinlae mengakui saat ini penganggaran untuk intervensi sensitif stunting yang salah satunya adalah lewat sanitasi dan air minum bersih memang masih minim. Maya menyebut bahkan sebelumnya di Ende, masih ada daerah yang sama sekali tidak memiliki anggaran sanitasi dan air minum bersih.

“Air minum bersih itu adalah standar pelayanan minimum yang harus dituntaskan. Dampaknya tidak hanya berhenti di diare, tetapi juga jangka panjang, bisa jadi stunting di sana. Penganggaran juga penting, jangan sampai tidak ada sama sekali. Kita lihat itu ada wilayah yang sama sekali tidak punya anggaran sanitasi dan air minum bersih,” kata Maya kepada Katadata.co.id, pada Kamis 21 Maret.

Keberhasilan di Kabupaten Ende

Lewat intervensi yang dilakukan FINWASH4UC sejak tahun 2022 di Kabupaten Ende NTT, beberapa kemajuan tampak di desa-desa, mulai dari kondisi desa secara umum, maupun dampaknya ke prevalensi stunting di Ende.

“Sebelumnya kita memang tidak terlalu kuat untuk sektor air minum dan sanitasi. Sekarang sudah sekitar 90% capaian akses terhadap air bersih dan sanitasi. Kalau sebelum intervensi WVI, katakanlah sekitar 2015 atau 2016, baru sekitar 60%,” kata Kepala Bappeda Kabupaten Ende Andreas Worho pada Rabu, 20 Maret.

Desa tertinggal di Kabupaten Ende juga menurun dari 143 desa pada 2022 menjadi 113 desa pada 2023. Tidak ada lagi desa yang tergolong sangat tertinggal. Jumlah desa maju dan berkembang masing-masing meningkat di tahun 2023, desa maju menjadi 9 desa dan desa berkembang menjadi 133 desa.

Salah satu indikator penilaian Indeks Desa Membangun (IDM) ini adalah akses air bersih untuk mandi dan mencuci, air minum yang layak, serta sanitasi di mana mayoritas penduduk desa memiliki jamban dan tempat pembuangan sampah. Penilaian ini berdasarkan Permen Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi 2/2016 tentang Indeks Desa Membangun.

Kabupaten Ende bersama Kabupaten Sumba Tengah dan Kabupaten Nagekeo juga merupakan kabupaten dengan prevalensi stunting terendah di NTT. Tahun 2023 sendiri, prevalensi stunting di Ende mencapai 7%, terendah dibandingkan kabupaten/kota lain dan jauh di bawah rata-rata prevalensi provinsi 15%. 

Secara spesifik kasus stunting di Desa Randoria dan desa lainnya yaitu Desa Saga yang sudah menerapkan Siskeudes online dan memiliki perdes kewenangan desa juga mengalami penurunan.

Pada 2022 dan 2023, Desa Saga mengalokasikan Rp176 juta anggaran Dana Desa untuk pemasangan 237 sambungan rumah (SR) di tiga dusun hingga setiap rumah memiliki kran air masing-masing. Pemasangan kran ini juga berdampak pada perekonomian dan ketahanan pangan Desa Saga. 

Kepala Desa Saga Hendrikus Lele menyebut, dulu hanya ada tujuh sampai delapan keluarga yang berkebun hortikultura. Sejak dipasangnya SR, sekitar 60% keluarga di Saga sudah dapat berkebun karena adanya akses air yang lebih mudah.

“Berbicara tentang air berbicara juga tentang kesehatan dan stunting juga. Bagaimana mau sehat kalau tidak ada air?” kata Hendrikus Lele.

Halaman:

Editor: Aria W. Yudhistira