Advertisement
Analisis | Belajar AI dan Koding di Sekolah Dibayangi Ketimpangan Infrastruktur Digital - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Belajar AI dan Koding di Sekolah Dibayangi Ketimpangan Infrastruktur Digital

Foto: Katadata/ Bintan Insani
Pemerintah berencana memasukkan kecerdasan buatan (AI) dan koding sebagai mata pelajaran di sekolah. Namun, masalahnya ada ketimpangan infrastruktur digital. Meski optimismenya tinggi, pengembangan dan literasi AI di Indonesia masih rendah.
Muhammad Almer Sidqi
18 Juni 2025, 13.10
Button AI SummarizeBuat ringkasan dengan AI

Pemerintah berencana memasukkan mata pelajaran artificial intelligence (AI) dan koding ke dalam kurikulum sekolah mulai tahun ajaran 2025/2026. Hal ini diungkapkan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka saat berkunjung ke Universitas Binus, 2 Mei lalu.

Menurut Gibran, rencana tersebut sudah dibahas dalam rapat terbatas bersama Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu'ti. “Indonesia nggak pernah kekurangan orang pintar. Semuanya kreatif. Kalian harus bisa merangkul teknologi terkini seperti AI, crypto, dan blockchain,” ujarnya. 

Adapun Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu'ti mengungkapkan, pengajaran AI dan koding bisa segera direalisasikan. Pada Maret lalu, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah juga telah meluncurkan naskah akademik terkait hal itu. Naskah ini akan menjadi landasan dalam pengambilan kebijakan terkait kurikulum dan pembelajaran AI dan koding di sekolah.

“Sekarang tinggal menunggu terbitnya peraturan menteri setelah ada harmonisasi dari Kementerian Hukum,” kata Mu'ti pada 8 Mei lalu. Baik AI maupun koding, ia menambahkan, tidak direncanakan menjadi pelajaran wajib, melainkan pilihan.

Belum Relevan

Peneliti Pusat Riset Penggerak Indonesia Cerdas (PRPIC), Arkhadi Pustaka, mengkritik rencana ini. Menurutnya, kebijakan memasukkan mata pelajaran AI dan koding belum relevan karena dunia pendidikan Indonesia masih mengalami kesenjangan infrastruktur. Apalagi jika menyangkut urusan komputer dan internet. 

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan tak ada satu pun jenjang pendidikan di Indonesia yang punya persentase kepemilikan komputer di atas 50%. 

Pada 2022, hanya 5,31% sekolah dasar yang memiliki akses komputer. Angka ini turun dari 37,09% pada 2019. Kondisi serupa terjadi di jenjang SMP dengan 27,1% sekolah yang memiliki akses komputer. Untuk jenjang SMA dan SMK, masing-masing hanya 39,4% dan 41,45%.

Kondisi itu diperburuk dengan disparitas digital yang mencolok antarwilayah. Data Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah mencatat masih banyak sekolah di daerah terluar yang belum mendapat akses internet penuh. 

Mayoritas sekolah dengan akses internet tinggi berada di Jawa dan Sumatera. Semakin ke timur, semakin banyak sekolah yang belum terjangkau internet.

Hasil survei Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII) mendukung data itu. Meski penetrasi internet meningkat, sebagian masyarakat masih belum menjangkaunya. Artinya, pelajaran AI dan koding di ruang kelas bisa saja hanya dinikmati segelintir sekolah di kota besar. Sedangkan sekolah di pelosok justru tetap tertinggal.

Sementara itu, masih menurut data APJII, mayoritas masyarakat secara keseluruhan lebih sering mengakses internet dari gawai. Hanya 0,88% responden yang mengaksesnya via komputer. 

Ini mengindikasikan bahwa akses terhadap komputer, terutama di sekolah-sekolah di seluruh pelosok Indonesia, mungkin sangat minim. Sedangkan pembelajaran AI dan koding, terutama pada tingkat lebih lanjut, seringkali memerlukan perangkat komputer dengan spesifikasi yang memadai.

“Saya melihat kebijakan itu sebagai proyek mercusuar,” kata Arkhadi kepada Katadata.co.id pada 10 Juni. “Tidak dibuat secara matang. Hanya membuat sesuatu yang wow tetapi tidak bermaksud menciptakan sesuatu yang berdampak.” 

Arkhadi juga menilai pemerintah seharusnya lebih dulu memperkuat kapasitas guru dalam literasi dan pemahaman digital. “Secanggih-canggihnya teknologi, core-nya tetap the man behind the machine,” kata dia.

Pemahaman Digital Belum Matang

Di Indonesia, optimisme terhadap teknologi kecerdasan buatan memang tinggi. Survei Snapcart, perusahaan riset pasar berbasis aplikasi, menunjukkan bahwa AI telah banyak dimanfaatkan orang Indonesia untuk berbagai kebutuhan sehari-hari, seperti menyelesaikan tugas sekolah, mencari informasi, hingga membantu menyelesaikan urusan-urusan rumit. Survei yang dilakukan pada April lalu itu menghimpun jawaban dari 3.611 responden.

Namun, menurut Artificial Intelligence Index Report 2025 dari Universitas Stanford, meskipun menempati peringkat kedua secara global dalam hal optimisme terhadap AI (hanya terpaut 3% dari Tiongkok), Indonesia justru tidak masuk dalam daftar negara dengan kontribusi signifikan terhadap pengembangan teknologi AI. 

Sebaliknya, Amerika Serikat yang menjadi negara dengan tingkat pengembangan AI tertinggi secara global, justru mencatatkan tingkat optimisme yang jauh lebih rendah, hanya 39%.

Dua data di atas menggarisbawahi masalah yang lebih dalam: tingginya ekspektasi AI di Indonesia belum diimbangi kesiapan teknis maupun pemahaman risiko yang memadai. 

Adapun Survei Pew Research Center pada 2024 yang melibatkan warga dan pakar AI di AS justru mencerminkan kekhawatiran serius terhadap sisi gelap AI. 

Mayoritas orang dewasa yang diasumsikan sebagai warga biasa di AS (66%) khawatir AI akan menyebarkan informasi yang tidak akurat, sementara 70% pakar menguatkan kekhawatiran tersebut. Kekhawatiran yang menyangkut penyamaran AI sebagai manusia juga meningkat: 65% warga dan 78% pakar menganggap ini sebagai ancaman serius.

Sebaliknya, sikap masyarakat Indonesia terhadap AI mencerminkan kekhawatiran yang berbeda. Jika publik dan pakar AS lebih cemas terhadap privasi dan penyalahgunaan informasi, mayoritas masyarakat Indonesia justru takut menjadi terlalu bergantung pada teknologi.

Survei Jakpat menunjukkan 64% responden Indonesia khawatir AI akan membuat manusia kehilangan kendali karena ketergantungan. Sebanyak 55% takut AI menyebabkan pengangguran. Sementara itu, hanya 48% yang merasa resah terhadap risiko penyalahgunaan data pribadi oleh aplikasi AI.

Perbedaan ini menandakan bahwa masyarakat Indonesia lebih terpaku pada dampak langsung (seperti kehilangan pekerjaan) ketimbang ancaman digital (seperti manipulasi informasi dan eksploitasi data).

Kepala Communication & Information System Security Research Center (CISSRec), Pratama Persada, menilai perbedaan kekhawatiran dampak AI antara masyarakat Indonesia dan AS menunjukkan timpangnya tingkat kematangan digital.

“Kesadaran akan risiko kehilangan pekerjaan akibat otomasi memang penting. Tetapi kekhawatiran tersebut tidak boleh mengaburkan bahaya yang lebih kompleks. Yaitu eksploitasi data secara diam-diam oleh entitas yang tidak bertanggung jawab,” kata Pratama kepada Katadata.co.id, 16 Mei lalu.

Editor: Aria W. Yudhistira


Buka di Aplikasi Katadata untuk pengalaman terbaik!

icon newspaper

Tanpa Iklan

Baca berita lebih nyaman

icon trending

Pilih Topik

Sesuai minat Anda

icon ai

Fitur AI

Lebih mudah berbagi artikel

icon star

Baca Nanti

Bagi Anda yang sibuk