Advertisement
Analisis | Wacana Rumah Subsidi Baru: Makin Sempit dan di Bawah Standar - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Wacana Rumah Subsidi Baru: Makin Sempit dan di Bawah Standar

Foto: Katadata/ Bintan Insani
Pemerintah berencana menurunkan batas minimal luas rumah subsidi menjadi 18 m², termasuk membuka opsi 14 m². Rencana ini menuai kritik karena bertentangan dengan standar kelayakan ruang menurut SNI, berbagai regulasi sebelumnya, hingga prinsip hunian versi SDGs.
Muhammad Almer Sidqi
4 Juli 2025, 11.07
Button AI SummarizeBuat ringkasan dengan AI

Pemerintah tengah menggodok aturan baru soal batas minimal luas rumah subsidi. Dalam draf Keputusan Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) tahun 2025 itu, luas minimal bangunan rumah subsidi dipangkas menjadi 18 meter persegi (m²) dengan luas tanah 25 m².

Nantinya, patokan baru itu akan mengubah standar yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri (Kepmen) Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Nomor 689/KPTS/M/2023. Dalam ketentuan ini, batas minimal luas bangunan rumah subsidi harus 21 m² dengan luas tanah 60 m². 

Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman Maruarar Sirait, mengatakan ide pembangunan rumah seluas 18 m² merupakan hasil diskusi dengan para pengembang. Tujuannya demi mengatasi keterbatasan lahan di kawasan perkotaan sekaligus memperluas akses masyarakat terhadap rumah subsidi yang terjangkau.

Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) menilai rencana ukuran rumah subsidi itu terlampau sempit. Menurut Gregorius Budi Yulianto, Ketua Umum IAI, tinggal berlama-lama di rumah dengan ukuran sekecil itu bisa menimbulkan masalah psikologis karena kurangnya privasi antaranggota keluarga. 

“Saya pribadi melihatnya sebagai shelter, rumah bertahan saja, bukan rumah tinggal,” kata Budi, 18 Juni lalu, dikutip dari Investor.id

Polemik ini makin ramai setelah Lippo Group merilis dua prototipe rumah subsidi berukuran lebih kecil lagi, salah satunya hanya seluas 14 m². Ukuran tersebut jelas berada di bawah batas minimum yang dirumuskan oleh Kepmen PUPR.

Lippo Group dikenal sebagai pengembang pertama yang mengajukan konsep rumah subsidi mini yang sejalan dengan rencana Kementerian PKP. Namun, Lippo menegaskan mereka hanya memberikan masukan dan usulan desain, tanpa ada kesepakatan formal atau pelibatan langsung dalam pelaksanaan proyek rumah subsidi pemerintah.

Pada 12 Juni lalu, Maruarar meninjau langsung maket rumah (mock up) milik Lippo. Dia mengatakan desain rumah Lippo Group bisa menjadi contoh atau opsi bagi pengembang lain yang ingin membangun rumah subsidi di lahan terbatas.

Menengok Standar Kelayakan Rumah 

Kebutuhan luas minimal rumah tinggal di Indonesia mengacu pada panduan Standar Nasional Indonesia (SNI) 03-1733-2004. Berdasarkan ketentuan itu, luas minimal bangunan untuk empat orang dewasa adalah 36 m² atau setara 9 m² per jiwa. Kebutuhan luas minimal ini dihitung berdasarkan kebutuhan udara segar tiap penghuni per jam saat beraktivitas di dalam ruangan.

Berdasarkan kegiatan yang umum terjadi di dalam rumah tinggal—seperti tidur (ruang tidur), memasak dan makan (dapur), mandi (kamar mandi), serta duduk atau bersosialisasi (ruang duduk/ruang tamu)—kebutuhan udara segar per jam untuk orang dewasa diperkirakan antara 16 hingga 24 m³, dan untuk anak-anak antara 8 hingga 12 m³.

SNI juga menghitung, dengan asumsi sirkulasi udara berlangsung maksimal dua kali per jam dan tinggi plafon rata-rata 2,5 meter, maka kebutuhan volume udara tersebut dapat dikonversikan ke dalam kebutuhan luas lantai per individu.

Untuk satu orang dewasa, kebutuhan luas lantai minimum ditetapkan sebesar 6,4 m² sampai 9,6 m². Sementara itu, anak-anak membutuhkan luas lantai minimum 3,2 m² hingga 4,8 m². Jika diasumsikan satu keluarga terdiri atas dua orang dewasa dan dua anak, maka total kebutuhan luas hunian sekurangnya berada dalam rentang 28,3 m² hingga 43,2 m². SNI juga menetapkan luas hunian rata-rata sebesar 36 m² sebagai acuan kelayakan ruang bagi satu keluarga kecil.

Jika dibandingkan dengan sejumlah regulasi yang pernah dibuat pemerintah tentang kelayakan rumah, luas bangunan masih berada di bawah acuan ideal SNI. Bahkan Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah (Kimpraswil) Nomor 403/KPTS/M/2002 mematok luas tanah minimal 60 m². Ketentuan ini kemudian dipertahankan dalam Kepmen PUPR 689/2023.

Perbedaan antara luas bangunan dan luas tanah dalam kedua peraturan tersebut dirancang untuk memberi ruang bagi pertumbuhan di masa depan. Dalam dokumen Kepmen Kimpraswil tahun 2002 dijelaskan bahwa bentuk paling dasar dari rumah subsidi adalah rumah inti tumbuh. 

Konsep itu menempatkan rumah tidak hanya sebagai tempat tinggal keluarga, tetapi juga sebagai ruang yang memungkinkan perkembangan—baik dari segi fisik bangunan rumah sederhana sehat maupun dari sisi kehidupan sosial dan budaya penghuninya.

Adapun rencana perubahan ke depan mengarah pada pengurangan luas minimal bangunan menjadi 18 m² dengan tanah seluas 25 m². Luas tanah versi terbaru ini bahkan lebih kecil ketimbang luas bangunan versi Kepmen Kimpraswil. 

Sementara itu, Direktur Jenderal Perumahan Perkotaan Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Sri Haryati mengatakan konsep rumah subsidi dengan luas bangunan 14 m² tetap mengacu pada SNI. Alasannya, rumah tersebut diasumsikan akan dihuni oleh dua orang atau sepasang suami-istri tanpa anak, sehingga kebutuhan ruang dinilai masih dapat terpenuhi.

Masalahnya, menurut Ali Tranghanda, CEO Indonesia Property Watch, rumah subsidi sudah seharusnya diperuntukkan untuk keluarga muda. Karena itu pertumbuhan ruang mestinya dimungkinkan. “Dengan ukuran seperti itu tidak akan layak. Lingkungan akan sangat crowded dan kumuh, dan akan menciptakan masalah sosial baru,” kata Ali dalam siaran persnya, 12 Juni.

Tak Cocok untuk Keluarga dengan Anak

Rencana Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan standar bahwa rumah yang layak harus mampu menjalankan seluruh fungsinya dengan baik, tanpa mengandalkan ruang-ruang multifungsi. Dengan kata lain, sebuah rumah idealnya memiliki ruang-ruang yang fungsinya jelas dan tidak saling tumpang-tindih. 

Meski tidak mengatur luas bangunan rumah, SDGs memberikan pengukuran standar luas ruangan minimal untuk bisa ditempati bersama, seperti ruang keluarga dan kamar tidur. Kedua ruangan tersebut sebaiknya memiliki luas 9 m² dan tidak ditempati lebih dari tiga orang.

Standar tersebut bukan tanpa dasar. Prinsip perumahan layak dalam SDGs menekankan pentingnya ruang yang memadai untuk menjamin kenyamanan dan kesehatan penghuni. Ruangan seluas 4 m²—setara dengan ukuran 2 x 2 meter—pada dasarnya hanya cukup untuk menampung dua orang, atau sekadar memuat satu tempat tidur ganda (double bed), tanpa banyak ruang tersisa untuk perabot lain.

Sebaliknya, ruangan dengan luas 9 m² (3 x 3 meter) memungkinkan penempatan satu tempat tidur ganda dan satu tempat tidur tunggal, serta beberapa perabot tambahan. Ini bisa dibilang lebih mendukung fungsi ruang tidur yang layak, terutama buat keluarga kecil.

Adapun desain dalam rencana perubahan KemenPKP menetapkan luas kamar tidur sebesar 7,8 m². Ukuran ini masih tergolong memenuhi ambang batas minimum untuk dua orang dewasa, tetapi menjadi tidak ideal jika ditempati oleh pasangan dengan satu anak.

Setali tiga kepeng dengan purwarupa rumah subsidi tipe satu kamar tidur yang dikembangkan Lippo. Berdasarkan denah yang dipublikasikan, kamar tidur pada rumah berukuran 14 m² itu hanya memiliki luas sekitar 5,72 m²—termasuk dengan kamar mandi di dalamnya. 

Editor: Aria W. Yudhistira


Buka di Aplikasi Katadata untuk pengalaman terbaik!

icon newspaper

Tanpa Iklan

Baca berita lebih nyaman

icon trending

Pilih Topik

Sesuai minat Anda

icon ai

Fitur AI

Lebih mudah berbagi artikel

icon star

Baca Nanti

Bagi Anda yang sibuk