Dua peristiwa teror terjadi dalam waktu berdekatan akhir Maret 2021 lalu. Peristiwa pertama, bom bunuh diri di depan Gereja Katedral Hati Yesus yang Mahakudus, Makassar pada Minggu, 28 Maret pagi. Selang tiga hari kemudian, polisi menembak mati seorang penyusup yang membawa senjata api di dalam area Mabes Polri, Jakarta.
Ada kesamaan pelaku di kedua peristiwa tersebut, yakni sama-sama perempuan. Di peristiwa pertama, YSF yang merupakan istri dari pelaku lainnya, sedangkan dalam peristiwa kedua berinisial ZA. Usia keduanya sepantaran yakni lahir pada pertengahan 1990-an, dan termasuk dalam generasi milenial.
Peneliti LP3ES Milda Istiqomah mengatakan, munculnya perempuan menandakan terjadinya pergeseran pelaku terorisme di tanah air. Pada dekade 2000-2015 peran perempuan berada di belakang layar, yakni sebagai fasilitator operasional dan pendukung ideologi.
Mereka kini memiliki peran yang lebih menonjol, bahkan aktif sebagai kombatan. Misalnya sebagai penyedia senjata, perakit bom, bahkan menjadi pelaku lapangan bom bunuh diri.
“Sebelumnya kita melihat mereka sebagai ideological supporter. Tapi sejak 2018, faktanya bahwa perempuan ini juga ikut andil dan turut aktif dalam peperangan,” kata Milda dalam webinar “Terorisme, HAM dan Arah Kebijakan Negara” yang diselenggarakan LP3ES, 2 April 2021.
Dari segi jumlah, lelaki memang masih mendominasi. Namun jumlah perempuan yang ditangkap dalam kasus terorisme melonjak, dari empat orang pada 2011-2015 menjadi 32 pada 2016-2020.
Terus bertambahnya jumlah perempuan yang aktif dalam terorisme menggeser pandangan umum. Survei Wahid Foundation dan Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 2016 menyebutkan, potensi perempuan melakukan radikalisme religius cenderung rendah. Baik dalam mendukung organisasi radikal, melakukan tindakan intoleransi, serta mengajak permusuhan atau curiga terhadap kelompok lain.
Sebaliknya karakteristik kelompok radikal di Indonesia mayoritas berkelamin laki-laki dan cenderung berusia muda. Survei menemukan bahwa mereka memahami agama secara dangkal, menerima informasi agama yang sarat kebencian, gampang curiga, serta menyangkal hak kelompok lain yang tidak disukai.
“Pada akhirnya mereka membenarkan atau memberi dukungan terhadap gerakan radikal,“ sebut laporan yang berjudul “A Measure of The Extent of Socio-Religious Intolerance and Radicalism Within Muslim Society in Indonesia” tersebut.
Usia muda memang rentan terpengaruh radikalisme, lalu masuk ke dalam gerakan terorisme. Data Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pada 2019 menunjukkan lebih dari setengah atau 59,1% pelaku terorisme berusia kurang dari 30 tahun. Ini dapat dikatakan para pelaku teror kebanyakan berasal dari generasi Z dan milenial.
Dari segi pendidikan, sekitar 63,3% pelaku terorisme berlatar belakang SMA, kemudian lulusan perguruan tinggi sebanyak 16,4%. Sedangkan yang sempat mengenyam tapi tak lulus dari universitas sebanyak 5,5%. Meski demikian, menurut kajian Wahid Foundation dan LSI menyebutkan, pelaku terorisme tidak terkait pada faktor tertentu, seperti pendidikan, pendapatan, serta berasal dari pedesaan atau kota.
Indonesia adalah salah satu pengguna media sosial (medsos) terbesar di dunia. We are Social dan Hootsuite mencatat pengguna medsos di tanah air mencapai 170 juta atau 61,8% dari total penduduk per Januari 2021. Sebanyak 94,5% di antaranya merupakan pengguna medsos aktif, rata-rata 3 jam 14 menit dihabiskan untuk bermain medsos per hari.
Setiap pengguna medsos di Indonesia rata-rata memiliki 10,5 akun. Adapun lima platform terpopuler adalah Youtube, Whatsapp, Instagram, Facebook, dan Twitter.
Menurut Ismail Fahmi, pendiri Drone Emprit dan Media Kernels Indonesia, medsos dapat menjadi ladang subur untuk menyemai calon anggota kelompok radikal. Apalagi algoritma di medsos cenderung memberikan informasi yang sejenis. Alhasil, pengguna hanya mendapatkan informasi yang seragam atau sepaham dengan apa yang diyakininya.
Pola penyebaran informasi radikalisme tersebut, menurut dia, biasanya dilakukan di grup-grup tertutup. Narasinya diawali dari sikap anti pemerintah, yang dihubungkan dengan ketidakadilan penegakan hukum, dan dibumbui narasi agama. Kalangan dewasa dan paruh baya berinteraksi melalui Facebook, sementara milenial bermain Nstagram dan TikTok yang kontennya memanfaatkan visual dan video pendek.
Konten dalam video panjang diakses melalui Youtube, terutama tentang Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Isi adegan video ini gado-gado, tapi mempersuasi seseorang untuk mempercayai ajaran.
Dia menambahkan, isi video dimodifikasi dari cuplikan film Hollywood, musik penuh semangat, teori konspirasi, hingga visualisasi orang terbunuh untuk menonjolkan penderitaan. “Konten yang mengandung teori konspirasi dan bersifat kontroversial biasanya menimbulkan interaksi yang tinggi,” kata Fahmi saat dihubungi Katadata.co.id, Senin 5 April 2021.
“Hal ini sekaligus mendorong pengguna media sosial untuk membagikan dan terus mendiskusikannya.”
Ironisnya, kata Fahmi, platform media sosial tidak berupaya menyetop atau menghapus konten-konten kontroversial. Mereka baru menghapus konten atau unggahan setelah ada protes dari berbagai pihak.
“Karena ada keterikatan (engagement) yang tinggi dan tentunya menguntungkan secara ekonomi bagi perusahaan media sosial,“ ujar dia.
Menurut dia, butuh strategi perlawanan dalam “perang” di media sosial. Narasi yang kontra terhadap terorisme perlu terus disebar, terutama dari tokoh agama yang moderat dan bisa diterima kalangan anak muda. Misalnya, Gus Baha atau Ustadz Adi Hidayat.
“Tagarnya bisa disamakan dengan tagar narasi negatif, sehingga pengguna media sosial dapat melihat keberagaman narasi atas suatu isu,“ kata Fahmi yang juga Wakil Ketua Komisi dan Informasi Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Editor: Aria W. Yudhistira