Advertisement
Advertisement
Analisis | Perempuan dan Milenial dalam Aksi Teror di Indonesia - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Perempuan dan Milenial dalam Aksi Teror di Indonesia

Foto: Ilustrasi: Joshua Siringo ringo/ Katadata
Ada kecenderungan pergeseran pelaku terorisme di Indonesia. Perempuan yang selama ini cenderung berada di belakang layar, mulai menunjukkan diri sebagai pemain lapangan menjadi pelaku aksi teror. Begitupula dengan anak-anak muda yang makin banyak turut dalam gerakan terorisme.
Author's Photo
11 April 2021, 10.17
Button AI Summarize

Dua peristiwa teror terjadi dalam waktu berdekatan akhir Maret 2021 lalu. Peristiwa pertama, bom bunuh diri di depan Gereja Katedral Hati Yesus yang Mahakudus, Makassar pada Minggu, 28 Maret pagi. Selang tiga hari kemudian, polisi menembak mati seorang penyusup yang membawa senjata api di dalam area Mabes Polri, Jakarta.

Ada kesamaan pelaku di kedua peristiwa tersebut, yakni sama-sama perempuan. Di peristiwa pertama, YSF yang merupakan istri dari pelaku lainnya, sedangkan dalam peristiwa kedua berinisial ZA. Usia keduanya sepantaran yakni lahir pada pertengahan 1990-an, dan termasuk dalam generasi milenial.

Peneliti LP3ES Milda Istiqomah mengatakan, munculnya perempuan menandakan terjadinya pergeseran pelaku terorisme di tanah air. Pada dekade 2000-2015 peran perempuan berada di belakang layar, yakni sebagai fasilitator operasional dan pendukung ideologi.

Mereka kini memiliki peran yang lebih menonjol, bahkan aktif sebagai kombatan. Misalnya sebagai penyedia senjata, perakit bom, bahkan menjadi pelaku lapangan bom bunuh diri.

“Sebelumnya kita melihat mereka sebagai ideological supporter. Tapi sejak 2018, faktanya bahwa perempuan ini juga ikut andil dan turut aktif dalam peperangan,” kata Milda dalam webinar “Terorisme, HAM dan Arah Kebijakan Negara” yang diselenggarakan LP3ES, 2 April 2021.

Dari segi jumlah, lelaki memang masih mendominasi. Namun jumlah perempuan yang ditangkap dalam kasus terorisme melonjak, dari empat orang pada 2011-2015 menjadi 32 pada 2016-2020.

Terus bertambahnya jumlah perempuan yang aktif dalam terorisme menggeser pandangan umum. Survei Wahid Foundation dan Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 2016 menyebutkan, potensi perempuan melakukan radikalisme religius cenderung rendah. Baik dalam mendukung organisasi radikal, melakukan tindakan intoleransi, serta mengajak permusuhan atau curiga terhadap kelompok lain.

Sebaliknya karakteristik kelompok radikal di Indonesia mayoritas berkelamin laki-laki dan cenderung berusia muda. Survei menemukan bahwa mereka memahami agama secara dangkal, menerima informasi agama yang sarat kebencian, gampang curiga, serta menyangkal hak kelompok lain yang tidak disukai.

“Pada akhirnya mereka membenarkan atau memberi dukungan terhadap gerakan radikal,“ sebut laporan yang berjudul “A Measure of The Extent of Socio-Religious Intolerance and Radicalism Within Muslim Society in Indonesia” tersebut.

Usia muda memang rentan terpengaruh radikalisme, lalu masuk ke dalam gerakan terorisme. Data Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pada 2019 menunjukkan lebih dari setengah atau 59,1% pelaku terorisme berusia kurang dari 30 tahun. Ini dapat dikatakan para pelaku teror kebanyakan berasal dari generasi Z dan milenial.

Dari segi pendidikan, sekitar 63,3% pelaku terorisme berlatar belakang SMA, kemudian lulusan perguruan tinggi sebanyak 16,4%. Sedangkan yang sempat mengenyam tapi tak lulus dari universitas sebanyak 5,5%. Meski demikian, menurut kajian Wahid Foundation dan LSI menyebutkan, pelaku terorisme tidak terkait pada faktor tertentu, seperti pendidikan, pendapatan, serta berasal dari pedesaan atau kota. 

 

Halaman Selanjutnya
Halaman:

Editor: Aria W. Yudhistira