Animo masyarakat ibu kota untuk berolahraga di luar ruangan kian meningkat selama pandemi Covid-19, seperti joging atau bersepeda. Selain hobi, aktivitas ini menjadi ajang relaksasi dari kesibukan sehari-hari. Di samping untuk memperkuat ketahanan tubuh agar tidak mudah terpapar virus.
Mereka umumnya mulai berlari atau mengayuh sepeda antara pukul 04.00-09.00 WIB. Pada jam tersebut, lalu lintas kendaraan masih sepi dan cuaca yang sejuk.
Meski bermanfaat bagi kesehatan, ada risiko yang mengintai saat berolahraga di luar ruang. Musababnya, Jakarta termasuk ibu kota dengan kualitas udara terburuk di dunia pada 2020. Laporan World Air Quality Report yang dirilis IQAir menyebutkan rata-rata tahunan konsentrasi PM2.5 Jakarta mencapai 39,6 µg/m³, mengalahkan Hanoi (37,9 µg/m³) dan Beijing (37,5µg/m³).
PM2.5 merupakan jenis polutan paling berbahaya, yang terdiri dari natrium klorida, amonia, karbon hitam, debu mineral, dan air. Ukurannya cukup kecil sehingga mampu masuk ke dalam paru-paru dan sistem peredaran darah manusia.
Semakin tinggi partikel ini terhirup ke dalam tubuh, berpotensi mengakibatkan beragam penyakit. Karena itu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memberi ambang batas rata-rata tahunan PM2.5 hanya sebesar 10 µg/m³.
Nafas, aplikasi pengukur kualitas udara, menghitung konsentrasi PM2.5 di Jabodetabek. Periode waktu pengukuran dilakukan pada waktu masyarakat berolahraga, yakni pukul 04.00-09.00 WIB selama Agustus 2020.
Dari pengukuran tersebut tercatat konsentrasi partikel PM2.5 di kisaran 80-120 µg/m³, atau termasuk kategori tidak sehat (konsentrasi PM2.5 di atas 50 µg/m³). Bahkan, konsentrasinya sempat mencapai kategori berbahaya di Bekasi (377 µg/m³) dan Jakarta Utara (274 µg/m³).
Beberapa lokasi tujuan masyarakat berolahraga di Jabodetabek pun memiliki kualitas udara yang buruk. Berdasarkan data harian yang dikumpulkan Nafas, hanya Sentul City yang punya 11 hari tidak sehat, sementara Ancol, Pantai Indah Kapuk (PIK), dan Cibubur berkisar antara 25-27 hari. BSD menjadi lokasi paling buruk, karena terjadi setiap hari.
Dengan kondisi itu, masyarakat perlu memerhatikan kualitas udara sesuai waktu dan lokasi olahraga. Pengukuran kualitas udara juga bertujuan menentukan durasi olahraga agar tetap dapat memberikan manfaat, dan minim risiko bagi kesehatan. Penelitian dari Universitas Cambridge pada 2016 menyimpulkan durasi tersebut berdasarkan tipping point dan breakeven point.
Jika aktivitas olahraga sampai pada tipping point, maka manfaat kesehatan yang diperoleh pun sudah mencapai titik maksimal. Aktivitas yang dilakukan melebihi durasi atau titik itu tidak akan menambah manfaat apa pun. Lokasi dengan konsentrasi PM2.5 sekitar 50 µg/m³ mencapai tipping point setelah 75 menit, sementara konsentrasi 100 µg/m³ dan 165 µg/m³ maksimal selama 30 menit.
Selanjutnya, breakeven point. Aktivitas olahraga yang melampaui titik ini berpotensi menimbulkan risiko kesehatan lebih besar dari polusi udara dibandingkan manfaat dari aktivitas itu sendiri. Semakin tinggi konsentrasi PM2.5 di suatu lokasi, maka durasi untuk mencapai breakeven point juga kian cepat.
Manusia mengonsumsi lebih banyak oksigen ketika berolahraga yang bertujuan menghasilkan energi untuk otot dan mengirimkan ke dalam darah. Menurut perhitungan Nafas, jumlah konsumsi udara selama dua jam olahraga intens (bersepeda, berlari, bermain sepak bola, dan lain-lain) sama dengan 24 jam aktivitas sehari-hari. Karena itu, berolahraga di wilayah berkualitas udara buruk bisa meningkatkan asupan polutan PM2.5 ke dalam tubuh.
Polutan yang menumpuk dalam tubuh manusia lantas menyebabkan masalah kesehatan. Seseorang bisa menderita batuk terus-menerus, asma, bahkan bronkitis kronis, penyakit jantung, stroke, hingga kanker paru-paru. Air Quality Life Index (AQLI) memprediksi penduduk Jakarta mengalami penurunan angka harapan hidup sebesar 4,9 tahun akibat polusi udara pada 2020.
Greenpeace Asia Tenggara juga memperkirakan polusi udara bisa menyebabkan 13 ribu kematian di Jakarta pada 2020. Kerugian ekonomi akibat berkurangnya produktivitas dari total kematian tersebut pun mencapai US$ 3,4 miliar.
“Perkiraan ini menunjukkan perlunya penekanan publik yang lebih besar pada pencegahan dan pengendalian polusi udara serta investasi dalam pembersihan dan teknologi pemantauan udara,” kata lembaga tersebut, seperti dikutip dari IQAir.
Editor: Aria W. Yudhistira