Advertisement
Advertisement
Analisis | Potensi Kolapsnya Rumah Sakit di Tengah Gelombang Baru Covid-19 - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Potensi Kolapsnya Rumah Sakit di Tengah Gelombang Baru Covid-19

Foto: Joshua Siringo Ringo/ Ilustrasi/ Katadata
Kapasitas tempat tidur di sejumlah rumah sakit di Jawa membeludak seiring lonjakan kasus Covid-19 pasca-Lebaran. Kondisi ini dikhawatirkan terus berlanjut karena mulai merebaknya kasus yang berasal dari varian baru. Bagaimana kesiapan pemerintah mengatasi kondisi gawat tersebut?
Dimas Jarot Bayu
15 Juni 2021, 20.44
Button AI Summarize

Kekhawatiran bakal melonjaknya kasus Covid-19 pasca-Idul Fitri 2020 menjadi kenyataan. Jumlah kasus positif terus bertambah. Satgas Penanganan Covid-19 mencatat kenaikan kasus nasional mencapai 56% pada pekan pertama setelah libur Lebaran berakhir.

Jawa menjadi episentrum lonjakan kasus baru corona. Di Jakarta misalnya, peningkatan kasus mencapai 302% dalam 10 hari terakhir. Yogyakarta terjadi peningkatan sebesar 107%, lalu Jawa Timur 89%, Jawa Tengah 80%, Banten 57%, dan Jawa Barat 49%.

Kenaikan kasus menyebabkan keterisian tempat tidur isolasi dan perawatan intensif (ICU) rumah sakit (RS) meningkat. Kementerian Kesehatan sebelumnya mencatat tidak ada satu pun RS di Jawa yang memiliki tingkat keterisian di atas 50%.

Namun hanya dalam dua pekan, lima dari enam provinsi di Jawa memiliki tingkat keterisian tempat tidur isolasi dan ICU di atas rata-rata nasional sebesar 52%. DKI Jakarta tercatat memiliki tingkat keterisian tertinggi, yakni 74% per 13 Juni 2021. Lalu Jawa Tengah dan Jawa Barat sebesar 70%. Sementara di Jawa Timur keterisian sebesar 39%.

Kenaikan juga terjadi di RS Darurat Covid-19 (RSDC) Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta. Hingga 14 Juni, tempat tidur isolasi yang telah terpakai mencapai 5.028 unit dari 5.994 unit. Artinya, tingkat keterisiannya telah mencapai 83%.

Kondisi ini berbanding terbalik dengan masa sebelum libur Lebaran 2021. Ketika itu, RSDC Wisma Atlet hanya merawat sekitar 1.000-1.500 pasien setiap harinya.

Tren ini berpotensi terus berlanjut. Epidemiolog dari Universitas Indonesia, Tri Yunis Miko mengatakan, hal tersebut terjadi lantaran sudah ada tiga varian baru corona asal India, Inggris, dan Afrika Selatan yang masuk ke Indonesia, yakni Delta (B.1617.2) , Beta (B.1.351), dan Alfa (B117).

Ketiga varian corona tersebut dinilai memiliki tingkat penularan yang lebih tinggi. Akibatnya, potensi pasien yang membutuhkan perawatan rumah sakit juga meningkat.

Berdasarkan data Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman, sudah ada 70 kasus corona yang berasal dari tiga varian tersebut hingga 10 Juni 2021. Rinciannya, 34 kasus varian Delta, 31 kasus varian Alfa, dan 5 kasus varian Beta.

“Di Indonesia sudah menyebar varian baru corona. Salah satunya itu di Kudus,” kata Tri kepada Katadata.co.id pada Senin, 14 Juni 2021.

Ada beberapa penyebab penyebaran varian baru corona ini berlangsung masif. Pertama, tingkat mobilitas masyarakat yang sudah seperti kondisi sebelum pandemi. Tingginya mobilitas berkaitan erat dengan semakin besarnya risiko penularan. Hal ini karena virus tersebut hanya dapat berpindah mengikuti pergerakan inangnya, yang tak lain adalah manusia.

Halaman:

Editor: Aria W. Yudhistira