Advertisement
Analisis | Vonis Koruptor Rendah, Korupsi Mewabah - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Vonis Koruptor Rendah, Korupsi Mewabah

Foto: Joshua Siringo Ringo/ Ilustrasi/ Katadata
Hukuman terhadap pencoleng uang negara dinilai terlalu ringan, sehingga tidak menimbulkan efek jera pelaku korupsi. Lalu, bagaimana tren putusan hukum kepada para koruptor?
Annissa Mutia
2 September 2021, 20.20
Button AI SummarizeBuat ringkasan dengan AI

Komitmen pemberantasan korupsi di tanah air sedang diuji. Vonis yang jatuhkan terhadap para koruptor menuai kontroversi lantaran dianggap terlalu ringan. Vonis tersebut tidak sebanding dengan kerugian yang mereka ciptakan. Hal ini sudah berulang kali terjadi dan berpotensi mengikis kepercayaan publik.

Kasus teranyar terjadi pada 23 Agustus 2021 lalu. Majelis hakim pengadilan tindak pidana korupsi Jakarta menjatuhkan vonis 12 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsidair kepada mantan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara. Juliari dinilai terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan korupsi, yakni menerima suap sebesar Rp 32,4 miliar dari para rekanan penyedia bantuan sosial (bansos) Covid-19 di Kementerian Sosial.

Vonis itu tidak sesuai dengan harapan masyarakat yang menganggap Juliari patut dihukum lebih berat. Meskipun faktanya putusan hakim itu sudah lebih tinggi setahun dari tuntutan jaksa KPK yang menuntut Juliari 11 tahun penjara.

Namun, ketika itu majelis hakim beralasan Juliari patut mendapatkan keringanan hukuman lantaran telah mendapatkan banyak cacian publik. Kontan saja, pegiat antikorupsi menilai pernyataan mejelis hakim itu ganjil. Pernyataan majelis hakim itu justru terlihat lebih bersimpati kepada koruptor ketimbang penerima bansos yang terdampak pandemi Covid-19.

Sejumlah pelaku korupsi lainnya juga menerima keringanan hukuman. Misalnya, jaksa Pinangki Sirna Malasari yang masa hukumannya dikurangi di tingkat banding. Di pengadilan tingkat pertama, Pinangki divonis hukuman 10 tahun penjara dalam kasus suap buronan Djoko Tjandra, tetapi kemudian dipotong menjadi empat tahun.

Salah satu dampak buruk dari praktik korupsi adalah menyentuh aspek ekonomi sebuah negara. Hal itu pula yang tampak secara jelas pada pemantauan tren persidangan perkara korupsi tahun 2020. Berdasarkan catatan Indonesian Corruption Watch (ICW), total kerugian negara mencapai Rp 56.7 triliun. Angka ini terbilang fantastis dan naik empat kali lipat jika dibandingkan dengan tahun 2019 yang lalu. Pada tahun tersebut, nilai kerugian keuangan negara hanya Rp 12 triliun.

Tren Vonis Koruptor di Indonesia

Data ICW menunjukkan, kendati tren penindakan kasus korupsi cenderung berfluktuasi sejak 2015 hingga 2020, nilai kerugian negara yang disita atau diselamatkan cenderung meningkat. Hal ini mengindikasikan bahwa pengawasan pengelolaan anggaran di pemerintahan semakin lemah setiap tahun.

Modus korupsi yang paling sering dilakukan berupa penggelapan. Modus lainnya adalah kegiatan atau proyek fiktif, mark up, dan laporan fiktif. Ketiga modus tersebut seringkali ditemukan dalam kasus korupsi pengadaan barang atau jasa.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat, tindak pidana korupsi di kalangan instansi paling banyak terjadi di pemerintah kabupaten/kota dengan total 409 kasus selama 2004-2020. Begitu pula di lembaga kementerian, KPK mencatat jumlahnya selama 2004-2020 sebanyak 382 kasus korupsi. Selain itu, kasus korupsi yang terjadi di pemerintah provinsi sebanyak total 152 kasus. 

Dari target penindakan, dengan kantor sebanyak 517 kantor, Kejaksaan memiliki target penanganan kasus sebanyak 566 kasus. Sampai akhir tahun 2020, Kejaksaan menangani sebanyak 259 kasus. ICW menilai persentase kinerja penindakan kasus korupsi oleh Kejaksaan sekitar 46 persen dengan kerugian yang diselamatkan sebesar Rp 17,5 miliar.

Kemudian, dari hasil rangkuman ICW, Kepolisian memiliki target penindakan kasus korupsi sebanyak 1.539 kasus. Selama 2020, Kepolisian hanya dapat menangani 170 kasus dengan persentase kinerja penindakan kasus korupsi oleh Kepolisian sekitar 8 persen. Dengan hasil itu, ICW memasukkan kinerja Kepolisian dalam kategori sangat buruk. Kerugian negara yang dapat diselamatkan dari penindakan yang dilakukan kepolisian sebesar Rp 219 miliar.

Sementara itu, berdasarkan informasi dari situs web KPK terdapat sebanyak 149 kasus korupsi yang disidik, antara lain, 115 kasus perkara sisa tahun 2019 (carry over) dan 34 kasus lainnya disidik tahun 2020. Faktanya, ICW mencatat hanya 15 kasus yang disidik dengan tersangka sebanyak 75 orang. Kerugian negara yang berhasil diselamatkan dari hasil penindakan kasus korupsi KPK sebesar Rp 805 miliar.

Maraknya kasus korupsi menunjukkan hukuman yang dijatuhkan kepada koruptor nampaknya belum memberikan efek jera. Hal tersebut terbukti dari hasil kajian yang dilakukan oleh ICW dengan memantau vonis-vonis yang dijatuhkan hakim di Pengadilan Tipikor, Pengadilan Tinggi, maupun Mahkamah Agung.

Dalam catatan ICW, mayoritas vonis yang diberikan sangat ringan. Sepanjang 2020, rata-rata vonis terhadap terdakwa perkara korupsi hanya 3 tahun dan 1 bulan (37 bulan). Sebanyak 760 terdakwa divonis di bawah empat tahun penjara pada 2020. Sedangkan vonis berat hanya dikenakan kepada 18 orang terdakwa.

ICW membagi tiga kategori vonis terhadap pencoleng uang negara. Vonis ringan (0 – 4 tahun penjara), sedang (di bawah 10 tahun penjara), dan berat (di atas 10 tahun penjara). Pembagian ini dilakukan dengan dasar subjektivitas kejahatan korupsi yang memiliki dampak sistemik kepada masyarakat, sehingga hal itu mesti dimaknai bahwa pelaku harus dihukum berat.

Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, tuntutan jaksa terhadap hukuman para koruptor memang ada peningkatan sekitar 6 bulan penjara. Namun, vonis yang diberikan kepada terdakwa perkara korupsi masih dikategorikan ringan.

Di sisi lain, dalam pemantauan penuntutan, ICW juga melihat secara spesifik kinerja dua penegak hukum, yakni Kejaksaan dan KPK. Seperti temuan tahun-tahun sebelumnya, tuntutan hukuman pidana kepada koruptor yang diajukan KPK  lebih tinggi dibanding dengan Kejaksaan.

Meski begitu, ada tren penurunan jika dibandingkan dengan 2019. Pada tahun tersebut rata-rata tuntutan KPK mencapai 5 tahun 2 bulan penjara.

Sementara itu, berdasarkan pemantauan vonis-vonis pada setiap tingkatan pengadilan. Rata-rata vonis yang dijatuhkan Mahkamah Agung (MA) kepada koruptor masih lebih tinggi ketimbang Pengadilan Tinggi dan Tipikor. MA rata-rata menjatuhkan hukuman 71 bulan penjara, sementara Pengadilan Tinggi dan Tipikor rata-rata memberikan vonis 44 dan 36 bulan penjara.

Melihat realita tersebut, wajar jika praktik korupsi akan terus menerus terjadi. Vonis ringan seharusnya dianggap sebagai sinyal melemahnya komitmen pengadilan untuk memberantas korupsi. Jika saja korupsi dipandang sebagai kejahatan luar biasa, dengan sendirinya hukuman kepada pelaku mesti pula berat.

 Disparitas Vonis Koruptor

Banyak kalangan yang bertanya-tanya mengapa disparitas masih menjadi isu klasik yang kerap mewarnai pemantauan vonis perkara korupsi. ICW menelaah beberapa penyebabnya. Salah satunya, seringkali tuntutan masih menggunakan pasal yang menguntungkan pelaku korupsi.

ICW dalam laporan “Tren Vonis Korupsi 2020” mengatakan, penegak hukum masih menggunakan pendekatan follow the suspect, ketimbang menerapkan model follow the money. Hal itu terlihat dari minimnya dakwaan yang menggunakan undang-undang anti pencucian uang

Pada fase penuntutan, khususnya perkara yang berkaitan dengan kerugian keuangan negara, baik KPK maupun Kejaksaan, masih menggunakan pasal yang menguntungkan terdakwa.

Menurut ICW, banyak terdakwa korupsi dituntut menggunakan Pasal 2 dan 3 UU Tipikor tentang perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara. Pasal itu dinilai tidak memberikan efek jera, justru regulasi itu membuka peluang terdakwa divonis ringan atau di bawah 4 tahun penjara.

Lebih lanjut ICW memberikan rekomendasi kepada pemerintah dan DPR untuk merevisi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, reformulasi hukuman denda, memaknai ulang definisi uang pengganti, dan penerapan sita jaminan.

Editor: Aria W. Yudhistira