Advertisement
Advertisement
Analisis | Menghadapi Ancaman “Zombie Unicorn” di Indonesia - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Menghadapi Ancaman “Zombie Unicorn” di Indonesia

Foto: Joshua Siringo ringo/ Ilustrasi/ Katadata
Fenomena Zombie Unicorn mirip dengan pecahnya gelembung dot com pada awal 2000-an yang menyebabkan harga saham-saham internet berjatuhan. Perusahaan teknologi atau startup perlu memperkuat fundamentalnya, karena tidak bisa lagi hanya menjual pertumbuhan dan prospek bisnis ke depan.
Reza Pahlevi
9 Juni 2022, 08.07
Button AI Summarize

Perusahaan teknologi Amerika Serikat (AS) yang kebanyakan bermarkas di Silicon Valley sedang mengalami masa terburuknya sejak awal 2022. Banyak yang menyebut rontoknya perusahaan-perusahaan ini sebagai fenomena “zombie unicorn”.

Mengutip TIME, ada tiga alasan di balik lesunya harga saham perusahaan teknologi. Pertama, pendapatan yang di bawah perkiraan. Kedua, bank sentral Amerika Serikat (AS) yang menaikkan suku bunga. Ketiga, situasi ekonomi yang dilanda inflasi.

Berkurangnya pendapatan perusahaan terutama dirasakan oleh perusahaan-perusahaan teknologi yang diuntungkan selama pandemi, seperti Netflix dan Zoom. (INFOGRAFIK: Fenomena “Zombie Unicorn” Melanda Bisnis Digital)

Netflix kehilangan 200.000 pelanggannya dan diperkirakan dapat kehilangan lebih banyak lagi pada kuartal II, seiring semakin ketatnya kompetisi aplikasi streaming. Sementara, pandemi yang mulai terkendali dan kembalinya kehidupan normal membuat penggunaan Zoom berkurang. 

Turut Menghantam Raksasa Teknologi

Dampak lesunya investasi di perusahaan-perusahaan teknologi juga dirasakan lima raksasa teknologi yang sering disebut FAMGA. FAMGA terdiri dari Facebook (kini Meta), Apple, Microsoft, Google (kini Alphabet), dan Amazon. 

Di antara kelima perusahaan ini, harga saham Meta mengalami koreksi terbesar. Sejak awal tahun (year-to-date/ytd) hingga Selasa, 7 Juni, harga saham Meta sudah menyusut 42,21%. Jika dilihat dari harga tertinggi dalam 52 minggu terakhir (52-wk high), saham Meta nyaris ambles 50%.

Analis menyebut kejatuhan saham perusahaan-perusahaan teknologi ini mirip dengan pecahnya gelembung dot-com pada awal milenium. 

“Anda mungkin mengira para investor, baik profesional maupun ritel, sudah belajar dari pengalaman tahun 2000. Ternyata, hal yang sangat mirip justru terjadi,” kata George Ball, pemimpin perusahaan investasi Sanders Morris Harris dikutip dari Fortune, Senin, 23 Mei 2022.

Pecahnya gelembung dot com pada 2000 terjadi karena investor yang ramai-ramai berinvestasi untuk perusahaan berbasis internet, yang biasanya memiliki “.com” di namanya. Ramainya investasi ini membuat pertumbuhan saham-saham perusahaan internet tumbuh pesat bak gelembung.

Ball mengatakan gelembung tersebut pecah ketika perusahaan menyadari pertumbuhan ekstrem tersebut tidak berkelanjutan. Menurut Bell, hal yang sama terjadi saat ini untuk saham-saham teknologi dan apapun yang berhubungan dengan kripto.

Bagaimana dengan Indonesia?

Kejatuhan saham-saham teknologi juga terjadi di Indonesia. Indeks saham teknologi atau disingkat IDXTECHNO berada di posisi 7.890,13 pada penutupan perdagangan Selasa 7 Juni. 

Ini berarti IDXTECHNO sudah susut 16,08% sejak awal tahun (ytd). Jika dilihat dari 52-wk high, IDXTECHNO sudah ambles -37,89% dari titik tertinggi 12.704,02.

Di antara empat perusahaan teknologi dengan kapitalisasi pasar terbesar, Bukalapak mengalami koreksi terbesar baik ytd maupun 52-wk high. Mengutip data Google Finance, harga saham Bukalapak sempat menyentuh Rp 1.325 per saham saat awal IPO. Pada perdagangan Selasa 7 Juni, harga saham Bukalapak ditutup Rp 280 per saham.

Halaman:

Editor: Aria W. Yudhistira