Obesitas membuat Muhammad Fajri (26) sehari-hari hanya bisa terbaring di atas kasurnya. Berat badan Fajri yang mencapai 280 kg membuatnya sulit bergerak. Padahal, laki-laki asal Tangerang ini harus dibawa dan dirawat di rumah sakit untuk mengobati infeksi di kaki pada awal Juni silam.
Sejumlah petugas Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dan pemadam kebakaran akhirnya membongkar pintu rumah Fajri. Kemudian, mereka menggunakan alat berat forklift untuk mengangkat Fajri ke truk dan membawanya ke rumah sakit.
Namun, setelah dua pekan perawatan intensif di rumah sakit, Fajri meninggal dunia. “Infeksi di kakinya itu semakin berat, kemudian ada infeksi di bagian paru-parunya,” kata Dokter Spesialis Anestesi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Sidharta Kusuma Manggala, seperti dikutip dari Antara.
Sidharta menjelaskan infeksi tersebut menyebabkan syok sepsis, yakni respons tubuh terhadap infeksi berat dan kegagalan beberapa organ tubuh, sehingga kondisi Fajri terus menurun.
Setelah Fajri, beberapa kasus obesitas lain muncul dan menyita perhatian masyarakat. Salah satunya, Cipto Raharjo (45) yang berbobot sekitar 200 kg. Cipto dinyatakan meninggal dunia akibat gagal nafas pada pertengahan Juli 2023 setelah dirawat intensif selama sembilan hari di RSCM.
Kasus obesitas yang dialami Fajri dan Cipto bukan yang pertama terjadi di dalam negeri. Pada 2016, Arya Permana yang waktu itu berusia 10 tahun juga menjadi sorotan media, lantaran berat badannya mencapai 192 kg. Sesak nafas saat berjalan kaki membuatnya tidak bisa pergi ke sekolah.
Setelah mendapatkan bantuan dari pemerintah daerah, Arya mulai melakukan terapi mengubah pola makan dan rutin berolahraga. Arya juga menjalani operasi penyempitan lambung pada 2017. Alhasil, Arya mampu menurunkan bobotnya hingga 83 kg pada awal 2020.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan obesitas sebagai akumulasi lemak berlebihan pada tubuh yang bisa menimbulkan risiko kesehatan. Seseorang dapat dikategorikan obesitas jika memiliki indeks massa tubuh (IMT) di atas 27.
Adapun, IMT dihitung melalui pembagian berat badan (kg) seseorang dengan kuadrat tinggi badannya (m2). Jika hasilnya ada di antara 18,5 dan 25, maka orang tersebut dikategorikan normal. IMT kurang dari 18,5 berarti kurus, sementara di atas 25 berarti gemuk dan bisa mengarah ke obesitas.
Berdasarkan perhitungan IMT itu, kasus obesitas di Indonesia tercatat meningkat dua kali lipat dalam 10 tahun terakhir. Proporsinya pada penduduk berusia di atas 18 tahun sebesar 10,5% pada 2007, lalu menjadi 21,8% pada 2018.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan Eva Susanti mengatakan, obesitas merupakan masalah multifaktor. Sebab, obesitas dapat dipengaruhi peningkatan asupan energi, perubahan pola makan, urbanisasi, dan penurunan aktivitas fisik.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan rata-rata konsumsi kalori dan protein—yang menjadi sumber energi—masyarakat Indonesia sebetulnya tidak berubah secara signifikan dalam lima tahun terakhir. Angkanya masih ada di kisaran 2.100 kilo kalori (kkal) dan 60 gram protein per kapita per hari.
Sebagian besar konsumsi kalori dan protein tersebut dipenuhi dari makanan-minuman yang dimasak di rumah. Sementara, kalori dan protein yang berasal dari makanan-minuman jadi mencakup sekitar 20-25% dari total konsumsi harian. Proporsinya pun cenderung menurun dari tahun ke tahun.
Meski begitu, proporsi makanan-minuman jadi dalam pemenuhan kalori dan protein termasuk tinggi, bahkan hanya kalah dari kelompok padi-padian. Jika keduanya dijumlahkan, angkanya mencapai lebih dari 50% dari total konsumsi harian per kapita.
Padahal, menurut Kementerian Kesehatan, makanan yang kaya sumber energi berasal dari karbohidrat berupa kentang, nasi merah, dan roti gandum. Energi tinggi juga dapat dihasilkan dari protein hewani, seperti daging merah, ayam, dan ikan.
Sedangkan, kelompok makanan yang kini menjadi sumber energi masyarakat Indonesia berpotensi jadi energi berlebih dan tak bergizi. Dengan begitu, hanya akan disimpan sebagai lemak di dalam tubuh. Hal ini yang lantas menambah berat badan seseorang dan bisa menyebabkan obesitas.
Makanya, konsumsi makanan sehari-hari harus diimbangi dengan aktivitas fisik yang memadai untuk membakar energi dalam tubuh. Namun, Eva mengatakan, jumlah ruang publik yang sedikit, terutama di wilayah urban, menghambat penduduk untuk melakukan aktivitas fisik, salah satunya olahraga.
Tidak hanya itu, masyarakat kini mudah mengakses berbagai fasilitas modern dan berteknologi tinggi, yang turut mengurangi aktivitas fisik sehari-hari. Misalnya, beberapa peralatan rumah tangga elektrik bisa bekerja sendiri, tanpa perlu dioperasikan dan diawasi manusia.
Kemudian, ojek daring yang sudah tersedia di mana-mana, sehingga sebagian besar penduduk tidak perlu berjalan kaki ke stasiun atau tempat tujuan yang dekat.
Eva melanjutkan, obesitas dapat meningkatkan risiko penyakit tidak menular, seperti diabetes melitus, hipertensi, penyakit jantung, dan kanker. Bahkan, obesitas bisa berkontribusi menyebabkan kematian setelah pasien menderita penyakit-penyakit tersebut.
Our World in Data mencatat angka kematian akibat obesitas di Indonesia mencapai 80,48 per 100 ribu orang pada 2019, meningkat dua kali lipat ketimbang 20 tahun sebelumnya. Jumlah itu pun lebih tinggi dari rerata global yang sebesar 60 kematian per 100 ribu orang pada tahun yang sama.
Dampak Obesitas terhadap Ekonomi
Selain meningkatkan risiko kesehatan dan kematian pada individu, kasus obesitas punya dampak buruk terhadap perekonomian suatu negara. Wulansari dkk. (2016) dalam artikel “Estimasi Kerugian Ekonomi akibat Obesitas pada Orang Dewasa di Indonesia” di Jurnal Gizi Pangan memprediksi dampak tersebut.
Menurut mereka, maraknya kasus obesitas dapat menyebabkan kerugian ekonomi, yang berasal dari biaya perawatan kesehatan, nilai ekonomi produktivitas yang hilang akibat kematian, dan nilai ekonomi produktivitas yang hilang akibat tidak masuk kerja.
Penghitungan biaya perawatan, misalnya, mencakup persentase kejadian komorbiditas pada populasi obesitas, jumlah penduduk yang mengalami obesitas, dan rata-rata biaya perawatan di rumah sakit.
Sementara, nilai ekonomi produktivitas yang hilang akibat kematian dan tidak masuk kerja mencakup jumlah kematian dan jumlah hari tidak masuk kerja, tingkat partisipasi kerja, dan upah yang diterima masing-masing pekerja.
Hasilnya, biaya perawatan kesehatan bagi penduduk dewasa yang obesitas diperkirakan mencapai Rp56,5 triliun per tahun pada 2016. Kemudian, nilai ekonomi produktivitas yang hilang akibat kematian sebesar Rp1,6 triliun per tahun dan akibat tidak masuk kerja sebesar Rp20,4 triliun per tahun.
Artinya, Indonesia diprediksi mengalami total kerugian ekonomi hingga Rp78,5 triliun per tahun dari kasus obesitas. Nilai itu pun setara dengan 0,4% produk domestik bruto (PDB) nasional yang sebesar Rp19.588,4 triliun pada 2022.
Kementerian Kesehatan pun menargetkan proporsi obesitas pada penduduk dewasa di tanah air tetap pada angka 21,8% sampai akhir 2024. Target tersebut sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.
Editor: Aria W. Yudhistira