Aturan Baru Harga Acuan Ayam dan Telur Diberlakukan Mulai 1 Oktober
Kementerian Perdagangan mengubah peraturan harga acuan ayam dan telur dari yang sebelumnya tercantum dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 58 Tahun 2018. Perubahan itu dilakukan untuk menyesuaikan dengan kondisi peternak yang tengah mengalami kenaikan biaya produksi telur dan ayam seiring dengan melonjaknya harga pakan, sementara harga jual keduanya anjlok karena pasokannya berlebih.
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menyatakan perubahan regulasi juga bertujuan untuk mencegah peternak melakukan afkir dini yang berpotensi mengganggu pasokan ayam dan telur. “Harga acuan baru berlaku mulai 1 Oktober, kami sedang siapkan Permendag-nya,” kata Enggar di Jakarta, Rabu (26/9).
Dalam Permendag 58/2018, harga tingkat petani untuk batas bawah telur dan daging ayam Rp 17 ribu per kilogram dan batas atas Rp 19 ribu per kilogram. Namun dalam peraturan yang baru, harga batas bawah telur akan diubah menjadi Rp 18 ribu per kilo gram untuk telur dan Rp 20 ribu per kilogram untuk ayam.
(Baca : Menko Darmin Sebut Harga Ayam dan Telur Stabil dalam Waktu Tiga Bulan)
Sementara untuk harga di tingkat konsumen jika dalam Permendag sebelumnya, harga telur Rp 22 ribu per kilogram dan daging ayam Rp 32 ribu per kilogram, dalam peraturan baru itu nantinya akan diubah menjadi Rp 23 ribu per kilogram untuk telur dan Rp 34 ribu per kilogram untuk harga daging ayam.
Menurutnya, kebijakan kenaikan harga acuan juga telah mempertimbangkan sumbangan harga kedua komoditas kepada inflasi.
Enggar juga meminta supaya Asosiasi Pengusaha Retail Indonesia (Aprindo) untuk membeli kedua barang dengan harga acuan yang baru. “Kami telah menetapkan Aprindo untuk membeli dengan harga tidak di bawah acuan,” ujarnya.
Namun demikian, pemerintah akan melihat kondisi dan situasi harga di lapangan dengan masukan dari para pelaku usaha, sehingga penerapan peraturan tersebut akan bersifat fleksibel. Alasannya, perubahan harga yang drastis juga bisa membuat peternak kesulitan.
Sementara itu, Ketua Pinsar Petelur Nasional Jawa Tengah Suwardi mengakui adanya peningkatan harga produksi karena sedikitnya ketersediaan jagung sebagai komponen pakan ternak terbesar. Harga bahan baku semakin tinggi karena peternak berebut pasokan jagung dengan pengusaha pabrik pakan ternak.
Suwardi menyebut harga jagung bisa mencapai Rp 4.900 per kilogram, padahal harga acuannya hanya Rp 4.000 per kilogram. “Kami minta pemerintah sediakan jagung karena kami sulit bersaing dengan pabrik,” katanya.
(Baca : Lagi, Telur dan Ayam Sumber Inflasi Juli 2018)
Menurutnya, terbatasnya pasokan jagung untuk bahan baku ternak lantaran ada kegagalan panen jagung di Jawa Tengah yang bisa mencapai 60% pada semester I. Selanjutnya, ada pula kegagalan 50% karena musim kering pada panen semester II. Terlebih, pembagian bibit jagung dari Kementerian Pertanian juga tidak tersalurkan dengan baik.
Ketua Peternakan dan Perikanan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Anton J. Supit menjelaskan perubahan harga diharapkan membuat daya beli peternak bisa kembali meningkat. Terlebih dengan kondisi pasokan ayam dan telur sedang berlebih tetapi ongkos produksinya naik.
Menurut perhitunganny, kebutuhan jagung untuk produksi pakan ternak selama setahun diperkirakan sebesar 8 juta ton jagung, tetapi jumkah yang tersedia diari dalam negeri diperkirakan hanya sekitar 5 juta ton. Akibatnya masih ada kekurangan sekitar 3 juta ton.
“Sejak impor jagung ditutup tahun 2016, kami alihkan ke gandum,” kata Anton.
Dia mengungkapkan, ketidakcukupan pasokan jagung menyebabkan pasokan ayam dan telur ayam di pasar menjadi tidak seimbang. Dampaknya, harga juga terus berfluktuasi sesuai dengan permintaan masyarakat.
(Baca juga: Pemerintah Antisipasi Kenaikan Harga Pangan Jelang Idul Adha)
Perhitungan Apindo soal kurangnya jumlah pasokan juga dibenarnkan Kepala Satuan Tugas Pangan Setyo Wasisto. Menurutnya, jumlah pasokan jagung tak sebanyak proyeksi Kementerian Pertanian, berdasarkan pemeriksaan lapangan di Jawa, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi pada bulan September.
Meski begitu, dia berharap ada panen jagung yang terjadi pada bulan Oktober untuk memenuhi kebutuhan pakan ternak. “Permasalahannya ayam ini kan tidak bisa ditunda makanannya,” ujar Setyo.
Suplus
Sementara itu, Kementerian Pertanian justru menampik prediksi kurangnya pasokan jagung dan bersikukuh pasokan surplus. Berlebihnya produksi dan pasokan jagung membuat pihaknya bahkan mampu mengekspor jagung hingga ke Filipina dan Malaysia. Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian Sumarjo Gatot Irianto menyatakan ekspor jaging tahun ini diperkirakan bisa mencapai sebanyak 372.990 ton dengan surplus mencapai 12,98 juta ton.
Proyeksinya, produksi jagung mencapai 30 juta ton pipilan kering (PK) dan kebutuhan jagung juga diperkirakan sebesar 15,5 juta ton PK dengan rincian kebutuhan untuk industri pakan ternak sebesar 7,76 juta ton PK, peternak mandiri 2,52 juta ton PK, benih 120 ribu ton PK, dan industri pangan 4,76 juta ton PK.
Catatan Kementerian Pertanian, produksi jagung hingga September 2018 sudah mencapai 24,24 juta ton PK. Sehingga Gatot menyatakan, 83,8% produksi jagung berada di 10 provinsi sentra tersebut berjalan dengan baik.
Adapun kenaikan harga jagung, menurutnya bukan diakibatkan oleh kendala pasokan, melainkan pilihan konsumen jagung yang masih relatif terfokus pada lokasi tertentu dan jauh dari sentra produksi.
Sentra produksi jagung saat ini terdapat terdapat pada beberapa wilayah seperti di Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Lampung, Sumatera Utara, Nusa Tenggara Barat, Jawa Barat, Gorontalo, Sulawesi Utara, dan Sumatera Barat.
“Kendalanya yang terjadi adalah karena beberapa pabrik pakan tidak berada di sentra produksi jagung, sehingga perlu dijembatani antara sentra produksi dengan pengguna agar logistiknya murah,” kata Gatot.
Saat ini tercatat ada 93 pabrik pakan di Indonesia yang tersebar di Sumatera Utara 11 unit, Sumatera Barat 1 unit, Lampung 5 unit, Banten 16 unit, Jawa Barat 11 unit, Jakarta 6 unit, Jawa Tengah 12 unit, Jawa Timur 21 unit, Kalimantan Barat 1 unit, Kalimantan Selatan 2 unit, dan Sulawesi Selatan 7 unit. Beberapa pabrik pakan di daerah seperti Banten, Jakarta, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Selatan tidak berada di sentra produksi jagung.
Karenanya, produksi jagung pascapanen harus tetap ditingkatkan untuk mengamkan pasokan dan meningkatkan kesejahteraan petani jagung. Dia menyebut jalur distribusi jagung umumnya masih panjang dan menyebabkan harga cenderung tinggi. Jagung dari petani biasanya dijual ke pedagang pengumpul, dan selanjutnya dijual lagi ke pedagang besar. Dari pedagang besar ini, barulah dipasarkan ke industri.
Menurutnya, upaya Kementerian Perdagangan membangun sistem resi gudang di berbagai daerah belum berfungsi optimal, sehingga petani tetap terpaku pada sistem konvensional.
Gudang dan pengering untuk resi gudang yang tidak berfungsi optimal tersebut ada di Luwu Raya, Minahasa Selatan, Garut, dan Lampung. “Ketika terjadi akumulasi panen pada suatu periode, program resi gudang dimaksimalkan agar nilai tambah dan risiko produsen serta konsumen dapat dimitigasi,” ujar Gatot