Bos Blackgold Johannes Kotjo Dituntut 4 Tahun Penjara Kasus PLTU Riau

Dimas Jarot Bayu
26 November 2018, 16:02
Ilustrasi Pengadilan Tipikor
Antara

Pengusaha sekaligus pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited Johannes Budisutrisno Kotjo dituntut empat tahun penjara dalam dugaan korupsi proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang (PLTU MT) Riau-1. Johannes juga dituntut membayar denda Rp 250 juta subsider enam bulan kurungan.

Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut Johannes sebagaimana dakwaan alternatif pertama, yakni Pasal 5 ayat 1 huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.

“Kami menuntut supaya majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memeriksa dan mengadili perkara ini memutuskan, menyatakan terdakwa Johannes Budisutrisno Kotjo terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi,” kata Jaksa KPK Ronald Worotikan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (26/11).

(Baca: Idrus Marham Disebut Minta Rp 4 Miliar untuk Munaslub Golkar).

Ronald meyakini Johannes melakukan perbuatan berlanjut dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dalam kasus proyek PLTU MT Riau-1. Johannes pun diyakini menyuap Rp 4,7 miliar secara bertahap kepada eks anggota Komisi Energi DPR RI Eni Maulani Saragih dan mantan Sekretaris Jenderal Golkar Idrus Marham.

Uang suap tersebut diberikan empat kali agar Eni membantunya mendapatkan proyek Independent Power Producer (IPP) PLTU Mulut Tambang Riau-1. Pada dua tahap pertama, Johannes memberikan uang kepada Eni sebesar Rp 4 miliar untuk Musyawarah Nasional Luar Biasa Golkar.

Dia juga memberikan Rp 250 juta kepada Eni untuk keperluan pilkada suaminya sebagai Bupati Temanggung. Uang suap Rp 500 juta diberikan pada Rp 13 Juni 2018 sebagai bagian fee yang dijanjikan Johannes kepada Eni. (Baca: Kembalikan Rp 1,3 Miliar, Sinyal Eni Saragih Jadi Justice Collaborator).

Dalam pertimbangan jaksa, hal yang memberatkan Johannes yakni perbuatannya tak mendukung peran pemerintah dalam pemberantasan korupsi. Sementara hal yang meringankan yakni Johannes berlaku sopan selama persidangan, bersikap kooperatif, dan mengakui perbuatannya. Dia pun belum pernah dihukum. “Sehingga memudahkan penuntut umum membuktikan dakwaannya,” kata jaksa.

Menurut Jakasa, kasus ini bermula ketika Johannes mengetahui rencana pembangunan PLTU MT Riau-1 pada 2015. Saat itu, Johannes menggaet CHEC sebagai investor dengan kesepakatan mendapat komisi sebesar US$ 25 juta atau 2,5 persen dari nilai proyek US$ 900 juta.

Johannes rencananya mendapatkan jatah fee sebesar 24 persen atau US$ 6 juta. Fee tersebut juga akan dibagikan kepada eks Ketua Umum Golkar Setya Novanto dan Andreas Rinaldi dengan jumlah yang sama.

Selanjutnya, fee juga akan dibagikan kepada Chief Executive Officer (CEO) Blackgold Rickard Philip Cecile sebesar 12 persen atau US$ 3,1 juta. Direktur Utama PT Samantaka Batubara Rudy Herlambang, Chairman Blackgold Intekhab Khan, dan Direktur Samantaka James Rijanto masing-masing dijatahkan 4 persen atau US$ 1 juta. Pihak-pihak lain yang turut membantu akan kecipratan sebesar 3,5 persen atau US$ 875 ribu.

Untuk menindaklanjuti kesepakatan tersebut, pada 1 Oktober 2015 Johannes melalui Rudy mengajukan permohonan kepada PT PLN agar memasukkan proyek IPP PLTU MP Riau-1 ke dalam rencana umum penyediaan tenaga listrik (RUPTL) PLN. Hanya saja, surat tersebut belum mendapat tanggapan selama beberapa bulan.

Karenanya, sekitar awal 2016, Johannes menemui Setya Novanto meminta bantuan agar dipertemukan dengan pihak PT PLN. Atas permintaan Johannes, Novanto kemudian mempertemukannya dengan Eni, di ruang kerja Ketua Fraksi Golkar, di DPR RI. 

Novanto pada kesempatan tersebut meminta agar Eni membantu Johannes dalam proyek PLTU MT Riau-1. Dia menjanjikan bahwa Johannes akan memberikan fee jika Eni berhasil membantunya menggolkan proyek PLTU MT Riau-1. 

Eni pun menyanggupi permintaan tersebut. Dia pun memperkenalkan Johannes kepada Direktur Utama PT PLN Sofyan Basir pada awal tahun 2017. (Baca: Sofyan Basir Disebut dalam Dakwaan Penyuap Proyek PLTU Riau-1).

Eni mengatakan kepada Sofyan bahwa Johannes merupakan pengusaha tambang yang tertarik menjadi investor dalam proyek PLTU MT Riau-1. Sofyan lantas meminta agar penawaran investasi itu diserahkan dan dikoordinasikan dengan Direktur Pengadaan Strategis 2 PT PLN Supangkat Iwan Santoso.

Sekitar Juli 2017, Johannes dan Eni kembali menemui Sofyan di ruang kerjanya yang juga dihadiri Iwan. Ronald mengatakan Iwan diperintahkan oleh Sofyan dalam pertemuan tersebut untuk menjelaskan mekanisme pembangunan IPP berdasarkan Perpres Nomor 4 Tahun 2016.

Pertemuan tersebut dilanjutkan ketika Johannes, Eni dan Sofyan bersua di Lounge BRI. Sofyan menyampaikan bahwa Johannes akan mendapatkan proyek PLTU MT Riau-1 dengan skema penunjukkan langsung, namun PT PJB harus memiliki saham konsorsium minimal 51 persen.

Pada September 2017, Johannes yang difasilitasi Eni kembali menemui Sofyan dan Iwan di Restoran Arkadia Plaza Senayan, Jakarta. Dalam pertemuan tersebut, Eni meminta Sofyan membantu Johannes untuk mendapatkan proyek PLTU MT Riau-1.

Sofyan, lanjut Ronald, kemudian memerintahkan Iwan mengawasi proses kontrak proyek PLTU MT Riau-1. Pada 14 September 2017 lantas ditandatangani kontrak induk alias heads of agreement pembentukan konsorsium dalam PLTU MT Riau-1. Komposisi sahamnya, PT PJBI 51 persen, China Huadian Engineering Company (CHEC) Ltd 37 persen, Blackgold 12 persen. Sementara penyedia batubara adalah PT Samantaka Batubara.

Dalam pertemuan tersebut juga ditandatangani perjanjian konsorsium yang menyatakan bahwa PT PJBI, CHEC, dan Blackgold. Perjanjian itu menyepakati pengajuan proposal kepada PLN guna mengembangkan, mengoperasikan, dan memelihara proyek PLTU MT Riau-1.

Pada pertemuan 25 September 2017 di Kantor Perwakilan PT PJB dibuat kesepakatan bahwa komposisi kepemilikan saham konsorsium, yakni PJBI sebesar 51 peresen dengan setoran tunai modal hanya sebesar 10 peresen, CHEC sebesar 37 peresen dengan setoran tunai modal sebesar 37 peresen ditambah 41 peresen kewajiban PT PJBI sehingga menjadi 78 peresen. Kemudian, komposisi saham Blackgold 12 peresen dengan setoran tunai modal sebesar 12 peresen.

Pada 6 Oktober 2017, PLN kemudian menerbitkan Letter of Intent (LoI) yang ditujukan kepada konsorsium PJBI, CHEC, dan Blackgold yang ditandatangi oleh Iwan dan disetujui oleh Dwi Hartono selaku perwakilan konsorsium. LoI itu berisikan masa kontrak 25 tahun dengan tarif dasar US$ 5,4916 per KwH dan segera membentuk perusahaan proyek yang akan menjadi pihak penjual berdasarkan power purchased agreement (PPA).

Pada tanggal yang sama pula di Kantor Pusat PLN, Jakarta dilakukan penandatanganan PPA proyek PLTU MT Riau-1. Namun, PPA tersebut baru ditandatangani oleh PT PJBI dan Blackgold. Sementara, perwakilan dari CHEC belum bersedia menandatangani PPA tersebut.

Johannes dan Eni lantas kembali melakukan pertemuan dengan Sofyan dan Iwan pada November 2017 di Hotel Fairmont Jakarta pada November 2017. Dalam kesempatan itu, Johannes keberatan dengan persyaratan PPA karena masa pengendalian joint venture agreement (JVC) oleh CHEC dan Blackgold yang hanya 15 tahun setelah commercial operation date (COD). 

Dia meminta agar masa pengendalian selama 20 tahun setelah COD karena CHEC merupakan penyedia dana mayoritas. Pertemuan mereka kembali dilakukan di kediaman Sofyan pada 31 Mei 2018. Dalam pertemuan tersebut, Sofyan menanyakan terkait PPA yang belum juga selesai kepada Iwan.

Iwan lantas menyatakan bahwa Johannes dan CHEC belum sepakat untuk memenuhi persyaratan dan tetap ingin jangka waktu pengendalian JVC menjadi 20 tahun setelah COD. Eni dalam kesempatan tersebut meminta Sofyan agar proses kesepakatan bisa segera dilakukan.

Sofyan, syahdan, menyampaikan jika CHEC tidak bisa memenuhi persyaratan maka Johannes harus mencari perusahaan lainnya. Hanya saja, Johannes menyatakan akan mengusahakan CHEC menyetujui persyaratan waktu pengendalian JVC selama 15 tahun setelah COD.

Setelah itu, Eni pada 5 Juni 2018 menghubungi Johannes bahwa dirinya sedang mengupayakan agar amanedemen perjanjian konsorsium segera ditandatangani oleh Sofyan dan Iwan. Keesokan harinya, Johannes, Eni, Sofyan, dan Iwan kembali bertemu.

Sofyan dalam pertemuan tersebut sepakat akan mendorong PLN dan PJBI menandatangani amandemen perjanjian konsorsium. Ini dengan catatan CHEC sepakat waktu pengendalian JVC selama 15 tahun setelah COD. (Baca juga: Dirut Pertamina Disebut Kerap Bertemu Tersangka Kasus Suap PLTU Riau-1).

Pertemuan itu kemudian ditindaklanjuti dengan penandatanganan amandemen perjanjian konsorsium oleh PJBI, CHEC, dan Blackgold di Kantor Pusat PLN pada 7 Juni 2018. Kemudian, Eni pada 3 Juli 2018 bertemu dengan Sofyan di House of Yuen Dining and Restaurant Fairmont Hotel.

Dalam kesempatan itu Eni menyampaikan kepada Sofyan bahwa Johannes sudah berkoordinasi dengan CHEC. CHEC pun sudah mau memenuhi persayaratan PPA. Pertemuan antarmereka kemudian tak dilanjutkan lantaran Eni dan Johannes terciduk dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan KPK pada 10 Juli 2018. 

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...