Mayoritas Mata Uang Asia Menguat di Tengah Kabar Baru dari Eropa & AS
Mayoritas mata uang Asia berhasil menguat terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Jumat (25/1) meskipun ketidakpastian masih membayangi ekonomi global. Sebelumnya, bank sentral Eropa, European Central Bank (ECB) memutuskan untuk menahan bunga acuannya dan tetap merencanakan satu kali kenaikan bunga tahun ini, meskipun ekonomi di zona Eropa tengah melemah. Sementara itu, pejabat perdagangan AS menyatakan soal masih panjangnya penyelesaian isu dagang AS-Tiongkok.
Berdasarkan data Bloomberg, saat berita ini ditulis, won Korea Selatan meenguat paling besar yaitu 0,51%, diikuti ringgit Malaysia dan peso Filipina masing-masing 0,29%, yuan Tiongkok 0,28%, rupiah 0,15% ke level 14.149 per dolar AS, dan dolar Singapura 0,15%., dolar Taiwan 0,14%, dan baht Thailand 0,09%. Di sisi lain, yen Jepang dan rupee India melemah masing-masing 0,16% dan 0,08%, sedangkan dolar Hong Kong stabil.
Penguatan mata uang Asia tersebut seiring dengan meredanya penguatan dolar AS. Sebelumnya, dolar AS terpantau menguat terhadap mata uang mitra dagang utamanya, tercermin dari kenaikan indeks DXY. Itu terjadi setelah pengumuman ECB dan pernyataan pejabat perdagangan AS Wilbur Ross bahwa AS-Tiongkok masih bermil-mil jauhnya dari penyelesaian isu dagang, meskipun ada peluang kedua negara mencapai kesepakatan.
(Baca: Stanchart Prediksi Tekanan ke Kurs Rupiah Menguat Setelah Triwulan I)
Para investor ditengarai mencari dolar AS sebagai penempatan yang aman alias safe haven di tengah ketidakpastian yang ada. Meski begitu, belum ada tekanan arus keluar dana asing yang siginifikan dari pasar keuangan negara berkembang Asia di awal tahun ini, tercermin dari nilai tukar beberapa mata uang Asia yang cenderung kuat, termasuk rupiah. Ini juga tercermin pada perdagangan Jumat.
Di Indonesia, dana asing di pasar keuangan domestik terpantau stabil. Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) menyatakan arus masuk dana asing berlanjut lantaran meredanya ketidakpastian global. Ini di antaranya seiring proyeksi bahwa bank sentral AS tidak akan menaikkan bunga acuannya seagresif tahun lalu, ECB yang diprediksi akan memperlambat langkah normalisasi moneternya, dan peluang positif dalam negosiasi dagang AS-Tiongkok.
Mengacu pada data Kementerian Keuangan, kepemilikan asing atas Surat Berharga Negara (SBN) tercatat sebesar Rp 901,91 triliun per Rabu (23/1) lalu. Ini artinya, bertambah Rp 8,66 triliun sepanjang awal tahun ini. Sementara itu, di pasar saham, investor asing tercatat membukukan pembelian bersih (net foreign buy) sebesar Rp 11,1 triliun hingga Jumat (25/1) siang ini.
(Baca: Dirjen Pajak Optimistis Dana Repatriasi Tax Amnesty Tak Cepat Pergi)
Ekonom Senior Standard Chartered Bank Indonesia Aldian Taloputra memperkirakan nilai tukar rupiah akan mengalami tekanan setelah triwulan I. Prediksi dia, rupiah bisa menyentuh level 13.800 per dolar AS pada triwulan I 2019. Namun, rupiah secara perlahan akan bergerak ke arah 14.000 per dolar AS hingga mencapai Rp 14.600 per dolar AS.
Pelemahan terjadi seiring berlanjutnya kenaikan bunga acuan AS, meskipun tak seagresif tahun lalu. Pada tahun lalu, empat kali kenaikan bunga acuan AS memicu arus keluar dana asing yang cukup besar dari pasar keuangan domestik. Alhasil, rupiah tercatat sempat menembus Rp 15.200 per dolar AS pada Oktober tahun lalu, sebelum berangsur menguat.
(Baca: Ada Empat Faktor, Gubernur BI Lihat Rupiah Bisa Terus Menguat)
Selain itu, proyeksi pelemahan rupiah juga dengan mempertimbangkan faktor domestik, yaitu defisit transaksi berjalan. Aldian memperkirakan defisit mencapai 2,7% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Adapun kondisi defisit menunjukkan bahwa pasokan dolar dari ekspor barang dan jasa tak mampu menutup kebutuhan dolar untuk impornya. Maka itu, ini bisa turut menekan nilai tukar rupiah.