Harapan Baru Proyek Laut Dalam Selat Makassar di Tangan ENI

Image title
20 November 2020, 17:13
idd, indonesia deepwater, selat makassar, chevron, eni, skk migas, proyek laut dalam
123RF.com/_fla
Perusahaan migas asal Italia, ENI, bakal menggantikan posisi Chevron dalam mengembangkan proyek Indonesia Deepwater atau IDD di Selat Makassar.

Total pinjaman bersih setelah kewajiban sewa perusahaan naik dari US$ 18,51 miliar menjadi US$ 19,85 miliar. Di sisi lain, belanja modal perusahaan turun dari US$ 5,58 miliar menjadi US$ 3,76 miliar.

Turunnya kinerja ini seiring dengan merosotnya harga minyak mentah dunia. ENI mencatat harga minyak Brent sepanjang kuartal tiga lalu berada di level US$ 40,82 per barel. Pada periode yang sama tahun lalu berada harganya di US$ 64,66 per barel.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas (Aspermigas) Moshe Rizal mengatakan keuangan ENI sangat terpukul. Keputusan perusahaan masuk ke proyek IDD tentu membutuhkan belanja modal dan operasional yang banyak.

Untuk mengukuhkan minat ENI, pemerintah harus menggelontorkan insentif yang signifikan. Misalnya, tax holiday, perubahan bagi hasil alias split, accelerated depreciation, dan harga kewajiban untuk dalam negeri (DMO) yang menarik.

Moshe menyebut, dari segi finansial akan sangat berat, apalagi ENI kemungkinan akan menanggung lebih dari 80% biaya di awal proyek. "Keekonomian lapangan yang perlu ditekankan, IDD ini proyek mahal," ujarnya.

Pendiri ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto menilai variabel untuk mengukur bagaimana agar proyek ini jalan cukup banyak. Bukan hanya sekadar mempunyai fasilitas, tapi apakah investasi itu sesuai atau tidak dengan prioritas atau strategi korporasi perusahaan secara global.

Kondisinya akan berbeda apabila pemerintah memutuskan mengerjakannya sendiri, dalam hal finansial dan keuangan. “Agar proyeknya jalan ya harus win-win. Dengan siapa saja investor atau operator mengembangkannya. Negosiasinya business to business,” kata Pri.

Sampai sekarang sebenarnya belum jelas bagaimana pengembangan IDD. Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan berpendapat proyek ini memiliki persoalan yang cukup kompleks.

ENI, yang disebut bakal menggantikan Chevron, sampai sekarang belum memberikan kepastian. Memang, perusahaan sudah memiliki fasilitas dekat IDD. Tapi Mamit ragu apakah itu cukup memangkas biaya investasi proyek. "Mereka saya kira terus berhitung terkait dengan faktor keekonomian lapangan," ujarnya.

Dengan penurunan tren energi fosil seperti ini, pemerintah harus meyakinkan ENI. Misalnya, dengan mengurangi split pemerintah di proyek tersebut sehingga dapat menguntungkan investor. "Harus ada sedikit pengorbanan," kata dia.

Sebagai informasi, proyek IDD termasuk salah satu proyek migas dengan nilai investasi besar, selain Blok Masela. Proyek ini sebenarnya sudah mengantongi persetujuan pengembangan lapangan (PoD) pada 2008.

Namun, setelah Chevron masuk tahap front-end engineering design (FEED) pada 2013, biaya yang dibutuhkan untuk proyek ini meningkat hampir dua kali lipat. Dari US$ 7 miliar menjadi US$ 12 miliar. Perusahaan pun mengajukan revisi PoD, tapi proposalnya ditolak oleh pemerintah.

Chevron lalu mengajukan lagi revisi PoD IDD tahap II, dan perpanjangan kontrak. Tapi negosiasi dengan pemerintah mentok, terutama mengenai skema bagi hasil. Pemerintah mengharuskan Chevron memakai skema gross split dalam proyek IDD tahap II.

Skema gross split merupakan perhitungan bagi hasil antara pemerintah dan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) dengan perhitungan di muka. Negara mendapat penerimaan lebih pasti dan tidak kehilangan kendali soal penentuan wilayah kerja, kapasitas produksi, dan bagi hasil. Penerapannya berbeda dengan kontrak bagi hasil sebelumnya yang memakai skema cost recovery alias penggantian biaya operasi.

Halaman:
Reporter: Verda Nano Setiawan
Editor: Sorta Tobing
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...