Pembangunan Infrastruktur yang Tak Sejalan dengan Target Produksi Gas

Image title
30 November 2020, 17:47
pipa gas, mph migas, produksi minyak, produksi gas, proyek strategis national, cisem, sei mangkei-dumai, west natuna transportation system-pulau pemping
123rf.com/Sergiy Serdyuk
Ilustrasi. Pemerintah menargetkan produksi gas bakal naik hingga 12 miliar standar kaki kubik per hari (BSCFD) di 2030, tapi sampan sekarang infrastrukturnya belum memadai.

PGN telah memangkas pembangunan jargas tahun ini dari 316 ribu sambungan menjadi 127.894 sambungan rumah. Pengurangan ditempuh oleh anak usaha Pertamina itu untuk mengalihkan anggaran di tengah pandemi Covid-19.

Pembangunan jargas pada 2020 berfokus pada 23 kabupaten dan kota di Indonesia. Yang terbesar di Balikpapan, Penajam Paser Utara, Tarakan, seperti terlihat pada Databoks di bawah ini. Pemerintah menargetkan setidaknya 16.809 SR terpasang pada tahun ini.

Terakhir, kebutuhan untuk gas industri penetrasi akan lebih besar. Kebutuhannya terutama untuk sektor kelistrikan, kilang petrokimia, manufaktur, dan lainnya. Hal ini juga ditopang dengan target bauran energi pemerintah di 2030 untuk menggantikan bahan bakar batu bara. 

Proyeksi penyaluran gas industri akan mencapai 8.958 juta standar kaki kubik di 2035. "Apabila  berjalan dengan baik dan regulasi mendukung, konsumsi gas akan meningkat signifikan ke depan," kata dia dalam Webinar Proyeksi Ekonomi Indonesia 2021: Jalan Terjal Pemulihan Ekonomi, siang tadi.

Berdasarkan paparan Pertamina, dalam lima tahun terakhir rata-rata penjualan gas terbesar adalah untuk fasilitas LNG sebesar 38%, Kemudian, sektor industri 28%, sektor kelistrikan 12%, kemudian sisanya adalah gas pipa, LNG domestik, kilang, dan gas kota. Sebagian besar gas dalam fasilitas LNG masih diperuntukkan untuk ekspor. 

Penjualan gas untuk industri memang cukup besar konsumsinya. Namun, tahun ini angkanya menurun hingga 25% karena konsumsi melemah.

Realisasi penjualan gas dan LNG per September 2020 menurun tajam dibandingkan September 2019. Penurunan paling dalam dialami LNG domestik sebesar 69%. Gas untuk kebutuhan kilang turun 66% karena permintaan bahan bakar minyak atau BBM melemah. 

Secara volume, dalam periode yang sama, penurunan penjualan gas terbesar terjadi pada sektor industri yang mencapai 127 miliar standar kuki kubik . Hal ini menunjukkan produktivitas industri di Indonesia menurun sangat tajam selama pandemi Covid-19.

pipa gas pertamina
Ilustrasi pipa gas. (Arief Kamaludin|Katadata)

Infrastruktur Dulu, Produksi Gas Kemudian

Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan menilai pengembangan gas bumi di Indonesia memiliki tantangan besar. Khususnya terkait infrastruktur dan pembeli. 

Pembangunan infrastruktur tersebut termasuk fasilitas terminal penerima gas, penyimpanan, dan jaringan pipa transmisi-distribusi. Sejauh ini pembangunannya belum memadai. Salah satu sebabnya karena proyek yang mahal dan butuh investasi besar. 

Bahkan beberapa proyek yang sudah disiapkan sejak lama sampai saat ini progresnya tidak signifikan. "Jadi, memang pembangunan infrastruktur gas ini merupakan yang utama dalam rangka mencapai target 12 miliar standar kaki kubik per hari,” kata dia kepada Katadata.co.id.

Jangan sampai target sudah tercapai tapi infrastruktur gas dalam negeri belum siap. "Jika target 2030 akan dikejar, maka pembangunan tiga pipa gas dalam PSN harus diselesaikan,”  ujarnya.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas (Aspermigas) Moshe Rizal menilai dikarenakan sifat komoditas gas, infrastruktur penopang logistiknya sangat krusial. Bahkan sebelum gas mulai produksi, prasarana harus sudah tersedia tepat waktu dan pembeli harus sudah diikat dengan kontrak. 

Shell memprediksi permintaan LNG dalam negeri akan meningkat setidaknya lima kali lipat pada tahun 2040. "Ini jelas untuk memenuhinya harus ditopang infrastruktur," kata dia.

Tiga proyek pipa yang masuk dalam PSN, menurut dia, pemerintah perlu menawarkan skema all-in. Investor dapat masuk pada fase studi kelayakan, desain, dan pengembangan. 

Pada fase itu investor dapat bertindak sebagai konsultan dan menawarkan komitmen investasinya dari awal. “Karena mereka yang melakukan evaluasi proyek dan memastikan pendanaan. Proyek akan jauh lebih cepat terealisasi,” ujar Mosche. 

Pasar gas domestik juga semakin tidak jelas karena patokan harga dari pemerintah. Dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 8 Tahun 2020, harga gas bumi tertinggi di titik serah pengguna atau plant gate sebesar US$ 6 per juta British Thermal Unit (MMBTU). Padahal saat ini harga LNG di pasar komoditas, melansir dari Reuters, untuk pengiriman Januari ke Asia Timur pada pekan lalu sempat menyentuh level US$ 7,4 per juta British Thermal Unit. 

Ada tujuh sektor yang mendapatkan harga khusus itu, yaitu pupuk, petrokimia, oleochemical, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet. Dampak kebijakannya, bagian pemerintah dari penjualan gas di hulu terpangkas sekitar US$ 2 per juta Brisith Thermal Unit. 

Pengamat energi Komaidi Notonegoro mengatakan kondisi tersebut membuat proyek pembangunan infastruktur gas sulit terealisasi. “Makin tipis margin yang didapat pengembang. Ini menyulitkan pelaku usaha,” katanya, dikutip dari Antara.

Kebijakan patokan harga itu dapat menjadi bumerang apabila pemerintah tidak memberikan insentif untuk pengembang. Margin yang rendah akan membuat perusahaan memilih bisnis berisiko rendah, yaitu mengelola infrastruktur yang sudah jelas pasokan dan pasarnya. 

Dengan melambatnya pengembangan infrastruktur gas, target pemerintah akan sulit tercapai. Kebijakan harga gas hanya menguntungkan sektor industri penggunanya. Di sisi lain, perusahaan swasta semakin sedikit yang mau membangun prasarana tersebut. 

Halaman:
Reporter: Verda Nano Setiawan
Editor: Sorta Tobing
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...