Genjot Investasi, Regulasi Migas Dinilai Perlu Perbaikan Radikal

Image title
12 Januari 2021, 18:34
investasi migas, skk migas, produksi minyak
Pertamina Hulu Energi
Ilustrasi. Pemerintah perlu memperbaiki regulasi hulu migas secara radikal untuk menggenjot investasi.

Chevron telah mundur dari Blok Rokan, salah satu penyumbang produksi minyak terbesar di Indonesia. Pertamina akan menggantikannya pada Agustus nanti. 

Lalu, ExxonMobil kemungkinan besar akan melakukan langkah serupa untuk Blok Cepu. Perusahaan kini fokus pada proyek lapangan gas raksasa di Australia dan Papua Nugini. Kepergiannya akan meninggalkan ENI, BP, dan ConocoPhillips sebagai perusahaan perminyakan yang aktif di Indonesia. 

Inpex asal Jepang sedang kesulitan menemukan mitra untuk mengembangkan Lapangan Abadi Blok Masela. Partnernya, Royal Dutch Shell, memilih hengkang dari proyek tersebut. Padahal, blok ini merupakan satu dari empat pengembangan lapangan gas yang masuk dalam proyek  strategis nasional (PSN).

Tiga lainnya adalah proyek gas alam cair atau LNG Tangguh, Indonesia Deepwater Developement (IDD), dan Jambaran Tiung Biru. Pemerintah berharap keempatnya dapat merealisasikan target produksi gas sebesar 12 miliar standar kaki kubik per hari pada 2030. 

Industri Hulu Migas Belum Capai Ambang Batas

Pengamat energi Salis S Aprilian berpendapat terlalu dini menganggap industri hulu migas telah mencapai ambang batas. Prinsip bisnis ini adalah minyak dan gas dapat diperoleh dari lapangan baru dengan cara lama, begitu pula sebaliknya. 

Dengan keseriusan dan ketersediaan dana, potensi migas di Indonesia masih ada. “Setidaknya sampai puluhan tahun ke depan. Hanya, apakah ekonomis atau tidak?” ucap Salis. 

Iklim investasi migas domestik terpengaruh isu kepastian hukum, aturan fiskal, cadangan dan prospek, dan risiko. Untuk faktor eksternalnya, industri migas Indonesia terpengaruh anjloknya harga komoditas karena pandemi, terjadinya kelebihan pasokan, dan kompetisi dari negara lain yang lebih menarik, seperti Vietnam dan Thailand. 

Beberapa perusahaan migas pergi dari Indonesia lantaran portofolio mereka lebih menguntungkan di negara lain. Dengan sumber dana mereka yang mulai terbatas, mereka harus menghitung semua risikonya. "Terutama country risk, fiscal terms, dan prospek," ujarnya.

Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto sebelumnya mengatakan kenaikan harga minyak mentah dunia akan semakin berat di tahun-tahun mendatang. Persaingan lintas energi, terutama dari energi baru terbarukan atau EBT, bertambah kompetitif. 

Selain karena energi terbarukan, produksi shale oil di Amerika Serikat juga memicu tekanan tersebut. Dengan kondisi itu, ia pesimistis harga minyak akan kembali tinggi. “Akan ada keseimbangan baru ke depan,” katanya kemarin.

Indonesia masih memiliki 108 cekungan yang belum tereksplorasi. Potensi menemukan sumber migas jumbo terbuka lebar. “Masih banyak potensi dan kita butuh investor,” ujar Dwi.

Halaman:
Reporter: Verda Nano Setiawan
Editor: Sorta Tobing
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...