Kontroversi Keluarnya Limbah Batu Bara dari Kategori Berbahaya

Image title
15 Maret 2021, 17:10
FABA, batu bara, pertambangan, beracun, berhaya, limbah, pltu, b3
123rf.com/Jeeraphun Juntree
Ilustrasi. Pemerintah mengeluarkan limbah batu bara hasil pembakaran PLTU dari kategori bahan berbahaya dan beracun (B3).

Ia menyebut KLHK justru tampil dengan berbagai macam narasi, membela kepentingan korporasi. Dalam konteks ini, Kementerian tampak memuluskan kepentingan industri tambang batu bara dan PLTU. Bukan menjamin keselamatan rakyat dan lingkungan terdampak. "Ini sebuah kemunduran dan sesat nalar," ujar Melky. 

Ketika FABA masuk kategori limbah B3, pemerintah tidak dapat berbuat apa-apa. Apalagi sekarang dengan mengeluarkannya dari kategori tersebut. "Semua yang terjadi ini bagian dari desain besar oligarki, yang dengan mudah menunggangi elit politik berkuasa," katanya.

PLTU Suralaya
Ilustrasi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). (Arief Kamaludin|KATADATA)

Biaya Pengolahan Limbah PLTU Berkurang

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan karakteristik batu bara Indonesia yang rendah sulfur, membuat kandungan logam beratnya menjadi lebih rendah.

Hal tersebut kemudian yang menjadi dasar KLHK mengeluarkan limbah FABA dari PLTU tidak memenuhi kriteria B3. “Aturan ini akan menurunkan biaya pengolahan limbah PLN dan IPP (produsen listrik swasta), serta menghindari tumpukan ash (debu)," kata Fabby.

Namun, perlu adanya aturan lebih rinci menyangkut pengelolaan limbah dan pemanfaatannya. Pemerintah harus melakukan pengawasan berkala terhadap kadar limbah PLTU. Debu FABA yang tercampur air dapat mencemari tanah dan air. Kalau terbang ke udara, partikelnya sangat berbahaya bagi manusia.

Dalam jangka panjang, menurut Fabby, KLHK dapat lebih tegas menerapkan ketentuan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 15 Tahun 2019 tentang baku mutu emisi PLTU. Dengan begitu, dampak lingkungan dan konsumsi batu bara dapat berkurang. 

Demikian pula dengan volume debu dan kontaminan lainnya. “Pengurangan PLTU secara bertahap juga menjadi pilihan yang tidak terelakkan untuk mendorong percepatan transisi energi," kata dia.

Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) berpendapat FABA ibarat tailing (limbah) pada proses pertambangan mineral. Ketua Umum METI Surya Darma mengatakan pernah ada pengujian kandungan limbah FABA di PLTU dan menunjukkan limbahnya masih di bawah ambang batas. 

Hasil pengujian lethal dose-50 (LD50) dan toxicity leaching procedure (TCLP) itu yang kemudian Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) sampaikan ke pemerintah.

FABA dari PLTU terbukti bukan limbah beracun. Namun, dengan pemakaian batu bara mencapai jutaan ton untuk membangkitkan listrik sampai 38 gigawatt, menurut Surya, limbah padat yang dihasilkan akan luar biasa banyak.  

Beberapa negara, seperti di Amerika Serikat, Tiongkok, India, Jepang, dan Vietnam, menyatakan FABA adalah non-B3. Bagi Indonesia yang terpenting adalah optimalisasi pemanfaatannya. "Karena limbah FABA dari PLTU itu cukup besar dan pasti akan membebani pengembang dalam pengelolaan limbah B3," ujarnya.

Di sisi lain, negara ini sebenarnya sudah berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon sesuai Perjanjian Paris 2015. Angka penurunannya sebesar 29% dengan usaha sendiri dan 41% mendapat bantuan internasional pada 2030. 

Surya mengatakan dengan semua kondisi itu pemerintah sebaiknya tidak lagi membangun pembangkit listrik berbahan bakar batu bara yang tinggi emisi. “Cukup sudah PLTU-nya dan harus ada strategi coal phase-out,” katanya. 

Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia berpendapat PP Nomor 22 Tahun 2021 masih sangat terbatas. Kebijakan itu hanya menyasar pembakaran batu bara di PLTU. Hasil pembakaran batu bara dari tungku sektor industri tetap termasuk limbah B3. 

Padahal, menurut Hendra, banyak kajian menunjukkan bahwa proses pembakaran batu bara PLTU dan tungku Industri tidak berbeda. "Seharusnya dibuka semua. Masyarakat tidak perlu khawatir karena (FABA) bisa dimanfaatkan," ujarnya.

Halaman:
Reporter: Verda Nano Setiawan
Editor: Sorta Tobing
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...