RI Butuh Perpres Cadangan Penyangga Energi untuk Antisipasi Krisis

Intan Nirmala Sari
11 Oktober 2021, 06:10
krisis energi, energi, ebt, cpe
Katadata

Di sisi lain, cadangan operasional fosil masih sekitar 20-25 hari, kita juga masih mengekspor gas dan batu bara. Adapun cadangan operasional tidak hanya berasal dari Pertamina saja, perusahaan lain juga diminta untuk menyiapkan cadangan operasionalnya.

Djoko juga menambahkan kalau saat ini ketahanan energi Indonesia masih dalam kondisi aman. Hal itu dilihat dari indeks ketahanan energi periode 2014 hingga 2020. Di mana catatan DEN per 2019, indeks berada di 6,57 yang mencerminkan tren meningkat dengan kondisi tahan.

"Indeks Ketahanan Energi kita di 6,57 masih dalam kategori tahan, dari tingkat tertinggi sangat tahan di level 8. Setiap tahunnya, indeks ketahanan energi terus meningkat," ujar Djoko dalam kesempatan yang sama. 

Terdapat empat aspek yang menjadi faktor penentu indeks ketahanan energi Tanah Air masih aman. Pertama, dilihat dari ketersediaan energi atau availability. Ini mengacu pada ketersediaan sumber energi dan energi baik dari domestik maupun luar negeri.

Kedua, harga terjangkau alias affordability. Itu mencerminkan keterjangkauan biaya investasi energi mulai dari biaya eksplorasi, produksi dan distribusi, hingga keterjangkauan konsumen terhadap harga energi. Ketiga, kemampuan akses atau accessibility, yakni kemampuan mengakses sumber energi, infrastruktur jaringan energi, termasuk tantangan geografi dan geopolitik.

Aspek terakhir atau keempat adalah ramah lingkungan atau acceptability. Dalam hal ini, penggunaan energi meliputi upaya peduli lingkungan baik darat, laut dan udara. Itu juga termasuk penerimaan masyarakat, seperti nuklir dan sebagainya.

“Dari segi harga pemerintah yang terapkan, stock aman, ekspor kita dapat profit, jadi stok dan harga aman. EBT kita juga aman. Jadi ketahanan masih bagus, kita aman berdasarkan hitung-hitungan itu,” kata Djoko.

Saat ini sejumlah negara seperti Eropa dan China tengah terjadi krisis energi yang ditandai dengan meroketnya harga gas dan batu bara, serta disusul dengan kenaikan harga minyak. Meroketnya kebutuhan gas di Eropa mengakibatkan impor LNG meningkat, yang sebagian berasal dari pasar Asia Pasifik.

Di sisi lain, kondisi pemulihan ekonomi di Cina telah mendorong peningkatan permintaan komoditas energi. Hal ini diperparah adanya embargo supply batu bara dari Australia, yang menyebabkan harga batu bara mencapai tingkat tertinggi selama sejarah, melebihi US$ 250 per ton awal Oktober ini.

Gubernur Indonesia untuk OPEC 2015-2016 Widhyawan Prawiraatmadja mengatakan, lonjakan harga energi bakal berdampak pada peningkatan harga komoditas lainnya. Hal itu akan diikuti naiknya layanan jasa, sehingga berpotensi mengancam kenaikan inflasi.

"Kondisi Indonesia sangat rentan terhadap peningkatan harga energi primer, khususnya minyak bumi yang ketergantungan impornya tinggi. Ditambah lagi, harga produk BBM dan elpiji 3 kilogram masih disubsidi," kata Wawan dalam kesempatan yang sama.

Di sisi lain yang tidak kalah penting adalah terkait transisi energi. Kebijakan transisi yang hanya melihat pada kebutuhan jangka pendek dapat mendorong terjadinya underinvestment dalam menghadapi pertumbuhan permintaan energi bersih maupun bersih fosil yang saat ini masih meningkat.

"Implementasi energi transisi yang tidak matang dapat menyebabkan Indonesia menjadi rentan ketika terjadi gangguan pasokan baik dalam negeri maupun dalam konteks global seperti saat ini," ujarnya.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...