Produsen Minyak Goreng Pertanyakan Relevansi DMO di Tengah Kenaikan Harga CPO

Ringkasan
- Menteri BUMN, Erick Thohir, sedang merencanakan pembukaan kantor untuk Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara), dengan menggunakan salah satu aset Bank Mandiri.
- Ada koordinasi antar kementerian untuk membahas isu yang berkaitan, menekankan pentingnya konsolidasi kebijakan antar kementerian untuk efektivitas kerja.
- Presiden Prabowo Subianto direncanakan akan meluncurkan BP Investasi Danantara pada 8 November 2024 sebagai lembaga pengelola investasi di Indonesia, dengan tujuan mengoptimalkan pengelolaan aset negara secara terpadu.

Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (Gimni) mempertanyakan relevansi kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) di tengah kenaikan harga minyak sawit mentah (CPO) di pasar global serta implementasi program biodiesel B40.
Kebijakan DMO dinilai membebani pabrikan yang harus menjual sebagian produknya di dalam negeri dengan harga lebih rendah dibandingkan harga ekspor.
Menurut Business Insider, harga CPO telah stabil di atas US$1.000 per ton sejak akhir September 2024. Sebelumnya, harga CPO sempat anjlok setelah kebijakan DMO diterapkan, dari puncaknya US$1.834 per ton pada Maret 2022 menjadi US$751 per ton pada September 2022 saat DMO efektif diberlakukan.
"Kondisi kami saat ini masih aman, tetapi dengan sedikit berdarah-darah. DMO itu kasarnya jual rugi, sementara volume ekspor kami turun akibat B40," kata Direktur Eksekutif Gimni, Sahat Sinaga, kepada Katadata.co.id, Senin (24/2).
Dampak Program B40 Terhadap Ekspor
Penerapan program B40 diperkirakan bakal meningkatkan produksi campuran biodiesel dari 12,98 juta ton pada program B35 tahun lalu menjadi 15,6 juta ton tahun ini.
Campuran biodiesel tersebut adalah produk olahan CPO, yakni Fatty Acid Methyl Esters atau FAME. Maka dengan peningkatan CPO untuk biodiesel, volume ekspor CPO nasional diperkirakan menyusut 2,62 juta ton pada tahun ini.
Berdasarkan data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), total ekspor CPO sepanjang Januari-November 2024 mencapai 27,47 juta ton, dengan hampir 70% di antaranya atau 18,98 juta ton diekspor dalam bentuk setengah jadi maupun produk jadi oleh industri minyak goreng.
Sahat menjelaskan bahwa selama ini pabrikan minyak goreng mengompensasi kerugian akibat kebijakan DMO melalui pendapatan ekspor. Oleh karena itu, ia mendorong pemerintah untuk mengganti kebijakan DMO dengan peningkatan pungutan ekspor.
Saat ini, pemerintah menerapkan dua jenis pajak ekspor CPO, yaitu bea keluar dan pungutan ekspor. Peraturan Menteri Keuangan No. 62 Tahun 2024 telah menurunkan pungutan ekspor dari hampir 11% menjadi 7,5%.
Dana hasil pungutan ekspor dikelola oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS) untuk peremajaan kebun dan subsidi program biodiesel.
Sahat mengusulkan agar peningkatan pungutan ekspor dialokasikan sebagai kompensasi bagi pabrikan minyak goreng yang harus menjual produknya di dalam negeri sesuai harga eceran tertinggi (HET).
"Pemerintah harus melihat kebutuhan industri. Saat ini, kompensasi dari pungutan ekspor hanya diberikan untuk Minyakita. Sementara minyak goreng premium bisa mengikuti harga pasar," ujarnya.
Dampak Program B50
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menargetkan implementasi program biodiesel B50 pada tahun depan. Gapki memperkirakan program ini akan kembali mengurangi volume ekspor CPO hingga 6 juta ton per tahun.
Namun, Sahat menilai campuran FAME yang terlalu tinggi dalam biodiesel dapat berdampak negatif pada mesin kendaraan. "FAME memiliki kandungan oksigen tinggi yang dapat merusak mesin jika digunakan dalam jumlah besar," ujarnya.
Ia juga mempertanyakan program B40 karena belum ada penelitian terkait dampaknya pada mesin kendaraan. Sejauh ini, penelitian biodiesel baru sampai B30 yang menunjukkan tidak ada masalah pada mesin setelah dua tahun penggunaan.
Sahat merekomendasikan agar kewajiban program biodiesel hanya sampai B30. Menurutnya, produsen sebaiknya menyesuaikan kandungan FAME dalam solar berdasarkan harga bahan bakar fosil di pasar global.
"Jika harga bahan bakar fosil rendah, FAME hasil produksi dalam negeri bisa diekspor untuk menambah devisa," katanya.