Putin Bantah Tudingan Gunakan Krisis Energi Untuk Kendalikan Eropa

Happy Fajrian
14 Oktober 2021, 12:13
putin, rusia, krisis energi, eropa, uni eropa
ANTARA FOTO/REUTERS/Maxim Shemetov
Presiden Rusia Vladimir Putin membantah tudingan yang menyebut Rusia sebagai penyebab terjadinya krisis energi Eropa.

Dia menyebut situasi yang dihadapi Eropa saat ini sebagai bentuk penyanderaan energi. Ia menilai bahwa niat Rusia sangat jelas mengunci sektor energi Eropa dan Inggris yang saat ini terlalu lemah untuk melawan karena sibuk menghadapi krisis energi.

"Eropa takut Rusia akan memutus aliran gas menjelang masuknya musim dingin, dan membiarkan kawasan ini membeku sampai mereka mendapatkan sertifikasi untuk proyek Nord Stream 2," kata Ash.

Meski demikian, Wakil Perdana Menteri Rusia Alexander Novak mengatakan bahwa sertifikasi Jerman untuk proyek Nord Stream 2 dapat membantu untuk menurunkan harga gas. Ini semakin memperkuat kecurigaan bahwa pertolongan Rusia hanya demi mendapatkan sertifikasi untuk proyek itu.

“Mencari sertifikasi cepat untuk Nord Stream 2 telah menjadi rencana permainan Moskow selama ini. Pasar benar-benar naif jika mereka berpikir Moskow akan melakukan segalanya demi meredakan krisis energi Eropa sebelum Nord Stream 2 disertifikasi,” kata Ash.

Upaya Eropa Lawan Krisis Energi

Untuk keluar dari krisis energi, Komisi Eropa menguraikan langkah-langkah yang akan diambil 27 negara Uni Eropa, termasuk menjajaki opsi untuk patungan atau secara bersama-sama membeli gas. Para menteri dari negara-negara Uni Eropa akan mengadakan pertemuan luar biasa pada 26 Oktober untuk membahas lonjakan harga.

"Satu-satunya cara untuk sepenuhnya memisahkan gas dari listrik adalah tidak lagi menggunakannya untuk menghasilkan listrik. Ini tujuan jangka panjang Uni Eropa, yakni untuk menggantikan bahan bakar fosil dengan energi baru terbarukan," kata kepala kebijakan energi UE Kadri Simson.

Badan Energi Internasional (IEA) yang berbasis di Paris, mengatakan bahwa dunia harus meningkatkan investasinya pada energi bersih dan infrastruktur pendukungnya tiga kali lipat dari level saat ini menjadi US$ 4 triliun, sekitar Rp 57 kuadriliun atau Rp 57.000 triliun, hingga 2030.

Ini demi mencapai emisi karbon nol bersih dan membatasi pemanasan global hingga 1,5 derajat Celcius pada 2050 yang menjadi target kesepakatan iklim Paris tahun 2015. "Dunia tidak berinvestasi cukup untuk memenuhi kebutuhan energi masa depannya," tulis laporan IEA.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...