Pertamina Tunggu Keputusan Pemerintah untuk Turunkan Harga BBM
Harga minyak kembali jatuh hingga 10,7% pada akhir pekan lalu. Biarpun begitu, Pertamina belum juga menurunkan harga BBM (bahan bakar minyak).
Vice President Corporate Communication Pertamina Fajriyah Usman mengatakan Pertamina akan menyesuaikan harga BBM sesuai dengan peraturan pemerintah. Mengacu pada ketentuan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), harga BBM mengacu pada beberapa faktor, diantaranya harga minyak dunia, nilai tukar rupiah terhadap dolar, dan inflasi.
Lebih lanjut, Fajriyah mengatakan pihaknya selalu mengikuti ketentuan tersebut. Selama ini Pertamina selalu menghitung harga jual BBM nonsubsidi dan nonpenugasan setiap bulan dengan mempertimbangkan perkembangan harga minyak dan harga BBM di pasaran.
"Pertamina akan mengacu pada kebijakan dan ketentuan Kementerian ESDM dalam hal penyesuaian harga BBM nonsubsidi. Sedangkan harga BBM subsidi atau penugasan merupakan kewenangan Pemerintah untuk penetapan harga jualnya," ujar Fajriyah dalam keterangan tertulis pada Senin (23/3).
Pertamina pun mengklaim harga BBM yang dijualnya masih cukup murah. Bahkan Fajriyah mengklaim harga BBM perusahaan pelat merah itu lebih rendah dari penjualan BBM lainnya.
Pertamina pada Februari lalu memang telah menyesuaikan harga BBM nonsubsidi. Sehingga harga BBM nonsubsidi Pertamina saat ini yaitu, pertamax turbo Rp.9.850 per liter, pertamax Rp.9.000 per liter, dan pertalite Rp.7.650 per liter.
Kemudian, pertamina dex Rp.10.200 per liter. Sedangkan dexlite dijual seharga Rp.9.500 per liter.
"Pertamina terus memantau pergerakan harga minyak dunia dan nilai tukar rupiah terhadap dolar sebagai faktor utama yang menentukan harga BBM," kata Fajriyah.
(Baca: Pemerintah Hitung Dampak Anjloknya Harga Minyak ke Ekonomi & Harga BBM)
Berdasarkan data Bloomberg, harga minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) dijual US$ 22,98 per barel. Sedangkan harga Brent sebesar US$ 26,3 per barel.
Harga minyak telah turun selama empat minggu berturut-turut sejak awal tahun in. Penurunannya bahkan mencapai 60%.
Hal tersebut dipengaruhi oleh dua faktor, yakni turunnya permintaan akibat pandemi corona dan perang harga minyak antara produsen Rusia dan Arab Saudi. Secara teori, penurunan harga minyak semestinya bagus untuk pertumbuhan karena biaya bisnis turun sehingga bahan bakar menjadi lebih murah.
Namun, penurunan harga minyak saat ini bukanlah saat yang tepat. Sebab, mayoritas masyarakat di banyak negara berdiam diri di rumah guna menekan penyebaran virus corona.
Alhasil, permintaan justru menurun meski harga minyak merosot tajam. "Kami perkirakan harga minyak akan terus jatuh dalam jangka pendek di tengah anjloknya permintaan, dan tidak ada batasan produksi setelah 1 April 2020," kata Analis Kebijakan Energi Senior di Hedgeye Potomac Research Joseph McMonigle, dalam sebuah catatan dikutip dari Reuters, Senin (23/3).
Di sisi lain, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengirim utusan khusus di bidang energi ke Arab Saudi untuk menstabilkan pasar minyak global. Trump ingin menengahi perang harga minyak antara Saudi dan Iran.
“Di waktu yang tepat, saya akan terlibat,” kata Trump dikutip dari Foxbusiness.com, Minggu (11/3).
Meski begitu, seorang pejabat senior Departemen Luar Negeri mengatakan, pemerintah federal tidak memiliki kemampuan untuk memengaruhi Oerganisasi Negara Pengekspor Minyak atau OPEC dalam memangkas produksi. "Dari tingkat federal kami tidak memiliki hubungan yang berkelanjutan dengan OPEC, itu merupakan kartel," kata pejabat tersebut.
(Baca: Anjlok Terdalam Sejak 1991, Harga Minyak Bisa Picu Gelombang Deflasi)